“Memangnya tidak bisa ya tetap berlibur ke Bandung? Mengapa harus ke Kartasura?” tanya Denok. Wajahnya cemberut, tangannya dilipat di dada.
Rencananya berfoto di Rumah Guguk tinggal impian. Denok juga tidak bisa menikmati hawa Bandung yang sejuk. Malah ia harus pergi berlibur bersama orang tuanya ke Kartasura.
“Simbah kangen kita semua, Nak. Simbah sering kesepian setelah Uti meninggal. Apalagi ia sendirian mengurus rumah dan kandang,” kata Ayah lembut. Ibu menganggukkan kepala sambil mengelus-elus rambut Denok.
Kata Ibu, Simbah sangat jago membuat teka-teki seru. Denok sedikit terhibur mendengar cerita Ibu.
Dua hari kemudian, sampailah mereka ke Kartasura. Untunglah perjalanan cukup lancar. Rumah Simbah sudah mulai terlihat. Rumahnya tidak besar, namun halamannya luas. Banyak pepohonan di kebun depan.
“Wah, kalian sudah sampai! Yuk, makan siang dulu!” kata Simbah. Nasi liwet dan serabi sudah terhidang di meja makan. Denok makan dengan lahap.
“Besok kamu ikut Simbah, ya. Ada perayaan Grebeg Sadran di sekitar keraton.”
Denok belum pernah ikut perayaan di keraton. Kata Simbah, ada kirab tumpeng dan aneka jajanan di sana.
“Aku lebih suka di rumah saja, Mbah. Kita main teka-teki saja!”
Simbah duduk di dekat Denok dan berbisik, “Mbah sudah siapkan teka-tekinya di Keraton. Kita bermain di sana. Simbah akan beri hadiah istimewa jika kamu berhasil,” katanya. Wah, Denok semakin penasaran.
Esoknya, mereka segera berangkat. Simbah tampak rapi dengan baju lurik dan blangkon. Keraton terlihat begitu ramai.
“Jangan lupa bawa alat tulis dan buku kecil. Catat semua petunjuk, dan carilah jawabannya,” pesan Simbah.
Aneka makanan dijajakan di keraton. Semua terlihat menarik dan menggiurkan. Denok jadi ingin mencicipinya.
“Eits! Jangan lupa tugas dari Simbah dulu,” Simbah mengingatkan.
“Oh, iya. Lupa!” seru Denok tertawa. Segera ia menyiapkan buku tulis kecil dan bolpoin. Simbah pun mulai membacakan teka-teki, sementara Denok sibuk mencatat.
“Siapakah aku? Warnaku hitam. Aku lengket seperti lem. Bila dimakan, ada rasa manis dan gurih. Ada juga rasa pedas dan hangat di sana.”
“Ah, ini pasti tentang makanan. Siap, Mbah. Silakan tunggu di sini,ya. Satu jam lagi kita bertemu di sini,” kata Denok. Simbah akan berkeliling melihat kerajinan batik di sekitar keraton.
Denok segera berkeliling mencari jawaban. Ia mengamati stan jajanan yang ada. Ah, ada sesuatu berwarna hitam di sana! Denok segera berjalan ke sana. Ternyata itu stan rawon Surabaya.
Mungkinkah ini jawabannya? Hitam, enak, dan pedas. Iya, mungkin jawabannya adalah rawon!
“Eh, tapi petunjuknya berkata rasanya manis. Berarti bukan yang ini,” pikir Denok. Segera ia mencari jawaban ke tempat lain.
Di seberang stan rawon ada tulisan besar “Bubur Ketan Hitam”. Denok berusaha mengingat bentuk bubur ketan hitam. Denok bersorak. Mungkin ia telah menemukan apa yang dicari!
“Silakan, silakan. Tiga ribu saja seporsi!” seru penjual bertubuh gemuk. Denok segera mengamati bubur di dalam kuali besar.
Ah, rasa bubur manis. Warnanya hitam. Santannya terasa gurih. Tapi…ada yang tidak sama dengan petunjuknya.
“Lengket seperti lem. Ada rasa pedas dan hangat. Bukan ini jawabannya,” bisik Denok dalam hati.
Denok melirik jam tangannya. Dua puluh menit lagi waktunya habis. Sepertinya ia belum tentu memenangkan tantangan dari Simbah.
Denok menyeka keringat di keningnya. Rasanya ingin sekali membeli es teh manis dingin. Denok akan mencari penjual es dulu.
Akhirnya Denok bisa menyeruput es. Sungguh dingin dan menyegarkan! Ia merasa bersemangat lagi.
“Mari, silakan! Ayo dibeli, ndhuk. Jenang saren enak. Jenang saren nikmat!” seru seorang penjual dekat Denok berdiri.
“Maaf, uang saya habis,” kata Denok pelan.
Tak sengaja ia melihat dagangan sang penjual. Sesuatu yang lengket. Bentuknya seperti bubur candil, namun ada warna yang beda di sana. Ah, warna hitam!
Denok melihat beberapa orang membeli jenang saren. Mereka memakannya dengan lahap. Denok jadi penasaran dengan rasanya.
“Mbakyu, seperti apa rasanya?” tanya Denok hati-hati.
”Rasanya campur-campur. Manis dan gurih. Tapi lidahku agak terbakar, hahaha.” Seru si pembeli.
Mengapa bisa begitu? Padahal buburnya tidak panas. Denok pun mendekati kuali jenang. Sang penjual mengaduk adonan, dan terlihat jahe menyembul di sana.
“Aha! Mungkin ini jawabannya. Biar aku tanyakan dulu ke Simbah,” pikir Denok. Segera ia berlari mencari Simbah.
Ternyata simbah sudah menunggunya. Ia duduk di dipan panjang yang disediakan untuk para pengunjung.
“Bagaimana, sudah dapat jawabannya?”
Denok ragu-ragu. Mungkin jawabannya salah. Segera ia mengulurkan kertas jawabannya.
Simbah membacanya. Matanya memandang Denok lama sekali. Kemudian ia mengangguk-angguk pelan.
“Cerdas sekali, cah ayu. Memang ini jawabannya. Sudah pernah makan jenang saren?”
Denok menggeleng. Ia baru kali ini mendengarnya. Biasanya saren adalah darah ayam yang dibekukan, untuk dimakan bersama nasi. Namun saren yang ini berbeda. Ternyata mirip bubur candil, namun ada rasa pedas dan hangat.
“Nah, sesuai janji. Karena kamu berhasil memecahkan teka-teki, akan ada hadiah sepesial,” seru Simbah. Ia mengeluarkan makanan berbungkus daun pisang. Denok penasaran dengan hadiah barunya.
“Wah, jenang saren! Terima kasih, Mbah!” kata Denok gembira. Ia sangat senang bisa memecahkan teka-teki. Ia juga bisa menikmati jenang saren yang hangat dan nikmat.
(Karya ini diikutkan dalam Lomba Cipta Cerpen Paberland)