Gedung sekolah terlihat samar. Sayup-sayup kudengar suara beberapa anak. Sesekali juga terdengar bunyi klakson yang membuat mataku melotot kemudian kembali menyipit.
“Sudah sampai sekolah!” teriak pak sopir membuat mataku kembali melotot diikuti dengan gemuruh sepatu anak-anak yang hendak turun. Mataku yang masih sayu hanya melirik dengan rasa malas ke arah kerumunan anak yang antre di depan pintu bus.
“Din! Mau sampai kapan duduk di bus?” tegur Rina.
“Yaampun aku benar-benar mengantuk,” jawabku sambil menguap.
“Begadang?”
“Bukan. Aku baru saja minum obat anti mabok sebelum naik bus. Manjur sih untuk menghilangkan mabok, tapi jadi mengantuk begini.”
“Hmm tapi bulan depan bisa ikut wisata sekolah kan?”
Aku dengan ragu menggeleng. Aku masih ingat kejadian setahun yang lalu saat mengikuti wisata sekolah di luar kota. Hampir sepanjang perjalanan aku tidur dan muntah. Semua murid tidak ada yang mau duduk di sebelahku karena bau minyak kayu putih dan muntahan nasi. Rina anak baru, jadi dia tidak tahu kejadian itu. Aku hanya berteman dengan plastik kresek dan sebotol minyak kayu putih.
“Masih ada waktu sebulan untuk melatih diri agar nggak mabok, Din,” Rina memberiku semangat. Rina benar, masih ada waktu sebulan untuk mencoba segala cara agar tidak mabok kendaraan. Dia memberiku usul-usul aneh, seperti minum soda sepanjang perjalanan, menempelkan tembakau di pusar dan masih banyak lagi. Baiklah, aku akan mencoba satu per satu apa yang diusulkan Rina.
Keesokan harinya, aku menunggu bus sekolah di depan rumah seperti biasa. Aku sudah membeli sebotol air soda untuk kuminum selama perjalanan. Rina yang sudah terlebih dahulu dijemput bus sekolah tengah duduk manis di bangku depan menungguku. Tepat ketika sopir mulai mengemudikan bus, aku meminum sebotol soda pelan-pelan.
Aku dan Rina termasuk murid yang lebih awal dijemput oleh bus sekolah. Jadi kami akan berkeliling menjemput murid-murid lainnya di beberapa titik penjemputan. Sesekali bus akan mengerem, jalan lagi, dan mengerem lagi saat lalu lintas sedang macet. Saat itulah, perutku terasa dikocok-kocok. Aku langsung meminum air soda berharap kali ini tidak mual.
“Glheeeek!” terdengar bunyi sendawa keras yang keluar dari mulutku. Beberapa murid melihatku sambil tertawa. Selama perjalanan, sudah belasan kali aku bersendawa. Hingga bus sampai di gerbang sekolah, aku berhasil tidak muntah. Namun, sudah sebotol soda habis dan tak terhitung berapa kali aku bersendawa. Entahlah, apakah ini bagus untuk organ dalamku? Sepertinya besok akan kucoba usul Rina yang lain. Aku merasa ngeri jika harus mengorbankan organ dalamku hanya demi tidak mabok kendaraan. Sebelum turun dari bus, Rina mengeluarkan sebungkus plastik kecil berisi tembakau dan hansaplast. Dia memintaku untuk mencoba cara yang ini.
“Besok jangan lupa coba yang ini. Taruh tembakau di pusarmu, lalu tutup dengan hansaplast. Pastikan pusarmu benar-benar tertutup. Kata nenekku ini ampuh,” jelas Rina.
Keesokan harinya, kuikuti usul Rina dengan memasang tembakau di pusar. Pusarku terasa sangat geli. Beberapa menit bus berjalan, perutku terasa sedikit terguncang. Masih aman. Ketika melewati kemacetan, kulirik sopir bus yang mengerem, menjalankan dan mengerem lagi bus. Aduhai, perutku benar-benar terkocok.
“Hueeeek!” aku segera mengeluarkan kantong kresek dan memuntahkan isi perutku. Rina hanya menepuk dahinya melihatku membersihkan noda muntah.
Kesimpulannya, semua usul Rina gagal. Menggunakan tembakau ternyata tidak mempan, menggunakan air soda mempan, tapi sangat beresiko dengan organ dalamku. Sepertinya aku harus pasrah jika belum bisa ikut wisata. Aku tidak lagi memusingkan bagaimana caranya agar tidak mabok. Aku tetap berangkat sekolah seperti biasa naik bus, duduk sebangku dengan Rina sambil mengulas pelajaran sekolah dan bercerita tentang rencana akhir pekan. Aku mencoba membiasakan diri dengan aroma bus dan kemacetan. Seminggu kemudian, ketika masih asyik bercerita dengan Rina, aku tak sadar jika bus telah sampai di depan gerbang sekolah.
“Rin! Aku nggak mabok!” teriakku girang.
Akhirnya, aku bisa dengan lega mengikuti wisata. Aku dan Rina duduk sebangku sambil membicarakan banyak hal dan menikmati pemandangan melalui kaca jendela. Tiba-tiba jalanan mulai macet dan sopir bus mulai mengerem beberapa kali. Aku merogoh saku baju dan mengeluarkan kantong kresek.
“Loh masih mabok Din?” tanya Rina.
“Kantong kresek buat membungkus sampah jajan kita, Rin hahaha,” tawaku.
Ternyata aku mengerti bahwa satu-satunya cara mengatasi hal yang tidak kita senangi adalah dengan selalu membiasakan diri bersama hal itu. Sama halnya dengan yang kulakukan. Semakin sering aku naik kendaraan, mabok kendaraan mulai sirna secara perlahan.