(Seri Go Green Generation) Kejadian di Hutan Larangan - Part 2
Oleh: Tethy Ezokanzo
Cerita sebelumnya: 3G berlibur di rumah nenek Gery yang terletak di kaki gunung. Desa tersebut masih asri dan dekat dengan hutan. Kata Gery di hutan ada monyet dan rusa. Tentu saja Gito dan Gita jadi ingin melihatnya. Namun nenek Gery melarang mereka masuk ke wilayah hutan larangan. Ada apa ya di dalam hutan larangan tersebut?
“Mana monyet dan rusanya, Ger?” tanya Gito.
Gery menjinjitkan kaki menengok ke atas pohon. “Biasanya bergelantungan di pohon-pohon sekitar sini, kok.”
“Mungkin pada masuk ke dalam hutan, takut sama kamu, hahaha,” kata Gita.
Gito memandang jauh ke dalam hutan. Ia maju selangkah demi selangkah.
“To, mau kemana?” tanya Gery cemas.
“Gitooo, jangan masuk!” cegah Gita.
Namun Gito malah melambaikan tangan. Ia menunjuk bagian bawah pagar. “Hei, ada lubang, masuk yuk!”
Tanpa menunggu teman-temannya Gito sudah masuk ke lubang yang ternganga di bawah pagar bambu itu. Mau tak mau, Gery dan Gita ikut masuk.
“Aduh, nenek bisa marah, nih,” kata Gery.
“Hahaha, ternyata cuma karena takut nenek? Bukan mahluk aneh, kan?” kerling Gito.
Gita memegang baju Gito erat-erat, “Aduh, kok seram sih?”
“Hush, itu perasaanmu saja, gara-gara nenek bercerita macam-macam. Ini hutan biasa, kok. Lihat, begitu tenang dan teduh,” Gito menghibur Gita.
3G masuk ke dalam hutan larangan. Semakin ke dalam, pepohonan semakin rapat. Sinar matahari jadi sulit menerobos karena terhalang kanopi pohon yang lebar. Suasana di dalam hutan menjadi remang-remang.
“Wah, gelap begini,” keluh Gery yang berkali-kali tersandung.
“Tenang, kita takkan tersesat, aku sudah menjatuhkan kelereng sepanjang jalan,” Gito tertawa sambil mengacungkan kantung berisi kelereng.
Gita mengacungkan jempol memuji kecerdikan kakaknya.
“Hei, kok di sana tampak terang!” tunjuk Gita.
3G penasaran. Mereka maju menuju daerah yang tampak terang.
“Mungkin lapangan atau kolam di tengah hutan,” kata Gery.
“Bukan, Ger,” bisik Gito sambil berjongkok bersembunyi di balik semak.
Tampaklah di depan mereka tanah terbuka karena pohon-pohonnya sudah ditebang. Beberapa pekerja sibuk mengangkut pohon-pohon tersebut.
“Ini pencurian,” bisik Gita sambil membidikkan kamera.
“Ayo, cepat kembali,” ajak Gito sambil memunguti kelereng-kelereng sepanjang jalan.
Dengan terengah-engah 3G berlari menuju ke desa.
“Nek, pohon di hutan larangan ditebang orang,” lapor Gery.
“Hah? Kamu ke sana? Nenek kan sudah bilang…,” belum juga nenek selesai bicara, Gita menyodorkan kamera digitalnya.
Nenek terkejut melihat foto-foto. “I.. ini kan pak Kades. Ya, tak salah lagi!”
Tunjuk nenek pada lelaki berkaus biru yang sedang mengawasi pekerja.
“Huaa bahaya kalau pejabat terlibat. Pantas saja pak kades membuat larangan masuk hutan,” seru Gito.
“Kita harus lapor polisi,” kata Gita.
“Jangan. Kita belum tahu, bagaimana jika polisi desa juga ternyata terlibat,” nenek menggeleng.
“Kita tak bisa sembarangan bertindak. Tentu ada komplotannya,” kata nenek lagi.
3G lalu berpikir keras. Tak mungkin mereka diam saja membiarkan hutan dirusak. Akhirnya terbersit ide untuk mengundang wartawan saja.
Gito menelepon Ibu untuk menghubungi teman-teman wartawan. Ibu Gito kaget diceritakan kejadian di Hutan Larangan. Esoknya, beberapa wartawan diam-diam merekam penebangan hutan. Beritanya menjadi besar. Pak Kades dan anak buahnya tak bisa lagi mengelak. Mereka pun dipanggil oleh pemerintah pusat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
3G tersenyum lega. Liburan kali ini benar-benar seru. Tak disangka mereka malah menemukan para pencuri pohon.
“Hei, kita belum berfoto dengan monyet,” kata Gito. Gita dan Gery tertawa mendengarnya.
“Jadi boleh ya Nek, masuk hutan?” rayu Gery.