Separuh Kisah dalam Buku Kita (1)
Kita pernah berkisah bukan?
Tentang rumah, tentang perapian yang hangat.
Tentang jendela, tentang embun yang menitik-nitik.
Tentang perjamuan minum teh sembari membaca kisah dari buku kita.
Buku yang kita tulis bergantian.
Kau sebagai kata, sedang aku menjadi tinta.
-
Sayang, lihatlah, buku-buku itu bertumpuk di sana.
Tak terjamah, semenjak kepergianmu.
Tintaku telah kering, tak tau harus kubasahi dengan apa.
Bahkan, telaga air mata pun tak mampu mengisinya. Pituruh, 0219
Yang Merah Hitam ini, Apa? (2)
Pernah,
Kukatakan padamu, biarlah matahari beredar tanpa titik henti.
Biar pula, bulan tenggelam ketika fajar datang.
Tapi, kau, adalah senja yang selalu ada dalam wajah jingga.
Dan aku, jatuh cinta.
-
Sayangnya, mendung kemudian datang.
Langit tak lagi jingga, tapi pekat yang teramat.
Mendadak hatiku ditikam duka, “Adakah mendung segera sirna?”
-
Oh, cinta
Bukankah, harusnya kau berwarna merah muda?
Jadi, yang merah hitam di dadaku ini, apa?
- Pituruh, 0219
Senja itu Luka (3)
Senja semakin kuyup,
Memeluk basah lelaki di tepi pantai.
Sapuan ombak menenggelamkan harapan,
Pergilah pemuda ke samudera luka.
-
Senja telah merampas kekasihnya.
Menggantinya dengan dongeng ratu paling cantik.
Senja menjadi abu, berkuas sesal sang pemuda
-
Kelelawar mengepak,
Mendecit gaung dalam goa.
Senja menjadi pucat
Pituruh, 0219
Kopi ini, Pahit sekali, Sayang (4)
Rinduku bersembunyi,
Di pekatnya kopi dalam cangkir ini.
-
Kuhirup dalam aroma khas sangrainya,
Jiwaku pun terisi, seluruh kenangan tentangmu.
Sepasang mata sayu, dengan bibir pucat bagai mayat.
-
Kususut kopi hati-hati,
Sehati-hati ucapmu padaku kala itu.
“Mas, bulan depan, aku menikah.”
-
Ternyata benar, kopi ini pahit.
Teramat pahit.
- Pituruh, 0219
Pesan untuk Tuhan (5)
Sore itu, aku melihatmu.
Berbaju hitam, kuyup di bawah hujan.
-
Aku tahu,
Hujan itu air matamu, hitam itu lara hatimu.
-
Lalu kau mendekatiku kemudian berbisik,
“Titip pesan untuk Tuhan, katakan pada-Nya, aku mau duka yang paling nestapa, hingga kebas seluruh indra. Hingga hatiku mati rasa.”
- Pituruh, 0219
