Kawan Lama
Oleh: Sri Bandiyah
Haryanto namanya, teman semasa SMA yang sudah lama tak pernah bertemu. Luar biasa, kusut sekali penampilannya. Sandal jepit dengan baju yang sudah tak jelas warnanya. Kukira dia akan menghindar saat bertemu denganku. Atau paling tidak, dia akan pura-pura tak kenal. Namun tidak begitu. Dia bahkan menyapaku lebih dulu. Baguslah! Memang begitu seharusnya. Kami bertemu di perempatan jalan, tempat penjual durian mangkal.
“Haris?” tanyanya dengan akrab saat aku berjalan mendekat.
Aku mengangguk. Pura-pura lupa dengannya. “Kamu ….”
“Har, temen SMA. Haryanto.” Kawan lamaku itu mengulurkan tangan.
“Oh … ya, ya, ya.” Aku menjabat tangannya. “Beli durian juga?” sambungku.
“Rencananya.”
Aku pun memilih-milih durian. Memang bagus-bagus durian di sini. Hampir semuanya montok, ya ada satu dua yang kecil tapi biar kecil, aromanya wangi.
“Musangking ini mantap sekali, Mas. Dijamin puas.“ Bapak penjual menjelaskan buah durian yang aku pegang.
Aku menoleh ke arah Haryanto. Ternyata dia sedang memandangiku.
“Ini! Yang ini pasti enak. Baunya harum.” Aku menyodorkan durian besar dan montok dengan aroma yang wangi sekali.
Haryanto menerima durian montok tersebut. Mendekatkan hidungnya ke buah berduri itu.
“Enak? Mau yang itu?”
Haryanto menggelang.
“Aku kembali memilih durian yang lain. Durian yang lebih besar dan wangi. “Apa yang ini? Atau ini?”
Haryanto tertawa kecil, mengatakan bahwa ia belum mau membeli.
“Jika kamu suka, ambillah. Aku yang bayar.”
Kawan lamaku itu berkeras menolak. Sebagai kawan lama, tentu aku memaksa. Kuambil dua durian montok dan segera membayar. Satu untuk Haryanto dan satu untukku.
“Mari aku antar ke rumah.” Aku berjalan mendahului, memasukkan dua buah durian di bagasi belakang.
Haryanto tampak enggan, tapi aku memaksanya. Jelas-jelas dia tadi bilang kalau sedang cari angin, sedang jalan-jalan tanpa bawa motor.
Sekarang kami sudah berada di mobil. Seorang supir mengemudikan mobil dengan lancar. Sementara aku dan Haryanto duduk di kursi belakang, bersebelahan.
“Makmur sekarang kamu, Ris.” Haryanto menatapku dengan senyuman.
“Ya, beginilah. Hanya sedang beruntung saja.”
“Seandainya Ayu dulu memilih kamu, tentu dia bahagia sekarang.”
“Ngomong apa, kamu.”
“Maaf atas semua salahku ke kamu ya, Ris.”
Aku mengangguk. Menepuk-nepuk pundaknya. Aku, Ayu, dan Haryanto dulu satu kampus. Ayu pacarana sama aku, sedangkan Haryanto menjadi tempat curhat kami berdua. Tak disangka, karena sering curhat, Ayu lebih nyaman dengan Haryanto. Hingga akhirnya ayu putus dariku dan menikah dengan Haryanto.
Kukatakan pada Haryanto kalau aku tidak ada dendam. Bahkan aku bilang, kalau Ayu memang lebih cocok sama dia. Kami pun mengobrol, bertanya tentang apa saja yang dilakukan selama tidak bertemu. Hingga akhirnya kami telah sampai. Haryanto keluar mobil, aku pun ikut turun. Menemani Haryanto berjalan menuju pintu rumahnya sembari membawa satu durian.
“Sudah pulang, Mas?” Seorang wanita keluar dari rumah. Dialah Ayu, istri Haryanto, mantan pacarku.
“Ay, ada Haris.”
Ayu memandang ke arahku. Mata kami beradu.
“Mas Haris?” Ayu bertanya gugup. “Ma—ma—masuk, Mas.”
Aku menggeleng, mengatakan kalau masih ada urusan yang harus diselesaikan. Haryanto dan Ayu memaklumi. Aku pun pamit sembari mengulurkan sebutir durian pada Ayu. Aku ingat, dulu saat pacaran, salah satu makanan yang paling disukai Ayu adalah durian. Kurasa, itulah salah satu alasan mengapa Haryanto mendatangi penjual durian tadi.
“Terima kasih, Mas.” Ayu menerima durian itu dengan senyum yang gugup.
Aku membalas senyum Ayu dan kembali ke mobil. Masih banyak hal yang harus aku selesaikan.
***
“Pak, maaf duriannya gak jadi.” Aku meletakkan durian di depan Bapak penjual.
“Ya, gak bisa, Mas.” Bapaknya menyingkirkan buah durian dari hadapannya.
“Maaf, Pak. Maaf banget. Kawan saya tadi menolak duriannya.” Aku memasang tampang sedih. “Dia malah minta uang saja. Anak kawan saya lagi sakit, jadi saya gak tega. Tolong ya, Pak.”
Sedikit terpaksa, akhirnya si Bapak mengembaikan uangku sembari menggerutu. Ah, jelas tak masalah mau menggerutu atau tidak. Paling penting uangnya kembali. Bisa repot kalau tak kembali, bagaimana caraku bayar ongkos Grab dan sewa baju?


