Di tengah hutan rindang, hiduplah seekor kancil bernama Kiko. Kiko sangat lincah, cerdas, dan senang membuat teman baru. Tapi meskipun banyak hewan di hutan, Kiko kadang merasa kesepian karena ia belum punya sahabat sejati.
Suatu pagi, setelah hujan turun, langit mulai terang kembali. Kiko keluar dari suraunya untuk mencari makan. Matanya terpesona ketika melihat di langit sebuah pelangi yang begitu indah — warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu membentang megah di antara dua bukit.
Kiko melompat kegirangan, “Wah, pelangi! Cantik sekali!” katanya pada dirinya sendiri. Ia berpikir, “Andai aku bisa pergi ke ujung pelangi, pasti ada kotak harta penuh kejutan.” Banyak dongeng mengatakan di ujung pelangi ada harta karun.
Dengan semangat, Kiko berjalan menuju arah ujung pelangi. Sepanjang jalan, ia bertemu temannya, Kelinci merah jambu bernama Timo, yang memetik buah beri.
“Selamat pagi, Timo!” sapa Kiko.
“Selamat pagi, Kiko. Ke mana kau hendak pergi?” tanya Timo.
“Aku mau melihat ujung pelangi,” jawab Kiko antusias.
Timo mengangguk pelan, “Ah, kau ingin mencari harta? Tapi jalan ke sana bisa susah.”
Kiko tersenyum, “Tidak apa-apa, Timo. Aku bisa!”
Kiko lalu meneruskan perjalanan, dan Timo pun tertarik untuk ikut pergi bersama Kiko.
Setelah beberapa saat, Kiko sampai ke sungai kecil yang airnya jernih. Ia menyebrangi dengan hati-hati. Di sebelah sungai tumbuh bunga-bunga berwarna-warni yang mengundang kupu-kupu menari. Kiko berhenti sebentar dan mengamati kupu-kupu, lalu melanjutkan langkahnya.
Tak lama kemudian, Kiko melihat seekor burung beo kecil bernama Biri duduk termenung di cabang pohon. Biri kelihatan sedih. Kiko mendekat dan bertanya, “Hai Biri, kenapa kau sedih?”
Biri menarik napas, “Aku ingin ikut kau ke ujung pelangi, tapi aku takut terbang jauh sendirian.”
Kiko tersenyum ramah, “Kalau begitu, kita bisa pergi bersama. Aku menemanimu sampai kau berani.”
Biri bangkit semangat dan terbang mendekat ke dekat Kiko.
Mereka berdua — Kiko, Timo, dan Biri — melanjutkan perjalanan bersama-sama. Dalam perjalanan, mereka saling bercerita, tertawa, dan menolong satu sama lain ketika ada rintangan.
Saat senja mulai tiba, mereka tiba di tebing tinggi. Dari situ tampak bayangan pelangi memudar. Kiko mendongak dan berkata, “Ternyata ujung pelangi tidak bisa dijangkau.”
Timo menghela napas lembut, “Ya, pelangi itu hanya cahaya dan tetesan air. Tapi perjalanan kita ini yang istimewa.”
Biri mengepakkan sayapnya, “Betul! Aku senang bisa bersamanya kalian.”
Malam mulai turun, dan mereka pun memutuskan beristirahat. Di tempat peristirahatan mereka, Kiko mengeluarkan bekal kecil — buah-buahan hutan yang dikumpulkannya sepanjang hari. Ia membagi buah itu untuk Timo dan Biri.
Timo dan Biri sangat berterima kasih. “Kiko, kau baik sekali.” kata Timo.
“Benar,” tambah Biri. “Aku tidak pernah merasa sebahagia ini.”
Keesokan paginya, mereka pulang bersama ke rumah masing-masing. Meskipun pelangi sudah menghilang, hati mereka penuh warna-warni kebahagiaan.
Sejak hari itu, Kiko tidak lagi merasa sendiri. Ia punya sahabat sejati: Timo yang sabar, dan Biri yang ceria. Mereka sering berjalan bersama, bermain, dan berbagi cerita. Kiko menyadari bahwa persahabatan dan kebersamaan jauh lebih bernilai daripada harta karun apapun.
