Senja Terakhir di Peron Tiga
Oleh: Hafiyan Al Muqaffi Umary
26/7/2025
Langit sore itu berwarna jingga tua, seolah turut merayakan perpisahan yang akan segera terjadi. Di peron tiga Stasiun Kota, seorang pemuda berdiri dengan ransel usang di punggungnya. Namanya Arga — seorang penulis yang selalu terlambat untuk segalanya, termasuk dalam urusan cinta.
"Jangan bilang kamu datang hanya untuk bilang 'selamat jalan'," kata Lila sambil melipat kedua tangannya, wajahnya sulit terbaca — antara marah, kecewa, atau sekadar pura-pura tegar.
Arga menarik napas panjang, matanya memandangi rel yang mengarah entah ke mana. "Aku datang... karena aku tahu, kalau aku pergi tanpa menemuimu, semua hal yang kutulis nanti akan bohong."
Mereka berdiri beberapa meter dari satu sama lain, seolah ada jurang waktu yang tak lagi bisa dijembatani. Angin sore meniup rambut Lila, dan di tengah hiruk-pikuk stasiun, hanya detak jantung mereka yang terdengar paling nyaring.
“Aku nunggu kamu selama dua tahun, Ga,” Lila berkata lirih. “Nunggu kamu sadar kalau cinta itu bukan tentang naskah yang selesai atau penghargaan yang datang. Tapi tentang hadir, di saat yang penting.”
Arga menunduk. “Aku tahu. Dan aku terlalu takut... takut kalau aku datang saat itu, aku nggak cukup baik buatmu.”
Kereta datang membawa deru dan keputusan. Peluit panjang terdengar, dan waktu semakin sempit. Lila menatap Arga untuk terakhir kalinya.
"Aku gak akan minta kamu untuk tinggal. Tapi kalau kamu naik kereta itu, jangan pernah kembali cuma untuk bilang ‘maaf’," ucap Lila, lalu berbalik.
Tangan Arga mengepal. Hatinya kacau. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak melarikan diri dari jawabannya.
“Aku nggak akan naik kereta itu,” katanya — bukan kepada Lila, tapi kepada dirinya sendiri.
Kereta melaju, meninggalkan peron yang kini sunyi. Arga melangkah pelan ke arah Lila yang masih berdiri di kejauhan, tak jadi pergi. Senja di peron tiga menjadi saksi, bahwa ada keberanian yang lahir terlalu terlambat, tapi belum sepenuhnya sia-sia.
— Tamat —