Kenangan Makan Malam Yang jarang Terjadi
Oleh: [Aliffia Citra Putri Ramadhini]
25/8/2025
Malam ini lagi, aku makan sendirian di meja makan yang begitu besar. Untuk rumah sebesar ini, kursi-kursi di sekeliling meja selalu kosong. Aku menatap piring-piring yang tak terpakai, lalu menunduk pada nasi hangat yang sudah disiapkan ibu sebelum berangkat kerja.
Ayah selalu sibuk pulang larut malam, ibu juga tenggelam dalam pekerjaannya, dan kedua kakakku sama sibuknya. Aku sudah terbiasa makan sendiri, mencoba menelan rasa sepi bersama lauk sederhana. Rasanya hambar, bukan karena masakannya, tapi karena tak ada suara yang menemaniku. Tidak ada canda tawa, tidak ada cerita—hanya dentingan sendokku sendiri.
Namun, suatu malam keajaiban datang. Ayah pulang lebih awal. Ibu pun sama. Begitu juga kedua kakakku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, meja makan yang besar ini kembali terisi. Kami duduk bersama.
Aku memperhatikan wajah mereka satu per satu sambil menyuap nasi. Ayah dan ibu tampak bersemangat bercerita, sementara kakak-kakakku saling menggoda dan bercanda, membuat kami semua tertawa lepas. Suara sendok beradu dengan piring, aroma nasi hangat, dan lauk pauk yang harum berpadu dengan tawa riang kami—ruangan itu akhirnya terasa hidup kembali.
Sambil mengunyah makanan, tanpa sadar air mataku jatuh. Entah kenapa rasanya begitu haru, begitu hangat. Aku cepat-cepat mengusapnya, takut mereka menyadari betapa berharganya momen ini bagiku.
Makan malam sederhana itu menjadi kenangan yang akan selalu kusimpan di hati—kenangan tentang kebersamaan yang jarang sekali terjadi.
— Tamat —