Kejutan dari Raja Niba
Oleh: Mia Risky Febiandini
25/8/2025
Suatu hari, Kerajaan Aves mengadakan perayaan hari lahir sang raja. Kerajaan tersebut dipimpin oleh sosok terkuat dari keluarga burung elang, yaitu Raja Niba.
“Wahai, para tamu undangan. Sebentar lagi Raja Niba datang!” seru salah satu pengawal kerajaan.
Senyum riang Raja Niba menghiasi wajah tampannya. Raja yang terkenal bijaksana itu tidak sabar ingin bertemu dengan rakyat Aves di pestanya. Biasanya, istana menjadi ramai dan penuh sukacita. Apalagi, koki istana sudah memasak beragam hidangan istimewa. Tentu saja, Raja Niba yang memerintahkannya.
Pintu masuk ruangan pesta mulai terbuka. Dada Raja Niba terbusung dengan gagahnya. Kedua tangannya mengudara, bersiap-siap menerima sambutan dari rakyatnya. Seketika, senyuman Raja Niba memudar setelah pintu terbuka lebar. Sorot mata tajamnya seakan-akan terkejut melihat pemandangan di hadapannya.
“Ke mana rakyatku?” tanya Raja Niba. Suaranya lantang dan berat.
Di ruangan pesta itu terdapat sepuluh bangku panjang yang telah disusun rapi. Setiap bangku dapat diduduki delapan keluarga burung. Sesuai dengan usia sang raja, yaitu 80. Namun, jumlah anggota keluarga yang hadir tidak dibatasi.
“Ma-maaf, Raja. Sebagian besar rakyat Aves sedang berhalangan hadir,” jawab Pufus. Dia merupakan penasihat kerajaan yang berasal dari keluarga burung bubut.
Raja Niba menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada Pufus. “Apa penyebabnya? Apa rakyat Aves tidak mau turut serta merayakan hari hari spesial ini?” Suara Raja Niba menggelegar. Seluruh tamu undangan yang telah hadir dapat mendengarnya dengan jelas.
Raja Niba bergegas masuk ke ruangan pesta. Pandangannya menelisik isi ruangan. “Sayangnya, yang hadir pun bukan rakyat yang kunantikan.”
Tidak ada satu pun rakyat jelata yang hadir di ruangan pesta. Para pejabat istana dan golongan konglomerat yang hadir saling berbisik. Mereka saling menunjuk agar salah satu dapat bersuara.
“Mohon maaf, Raja.” Salah satu Menteri Kerajaan melangkah maju. “Sebaiknya rakyat Aves jangan terlalu dimanjakan. Toh, selama ini semua kebijakan yang Raja Niba berikan tidak pernah merugikan mereka. Apalagi, istana tetap memberikan bantuan pada rakyat Aves.”
“Siapa yang memintamu berbicara!” bentak Raja Niba dengan lantang. Amarahnya memuncak.
“Sa-saya minta maaf, Raja Niba,” sesal salah satu menteri kerajaan itu. Dia pun kembali ke bangku.
“Semua hidangan yang akan kalian makan itu berasal dari kerja keras rakyat Aves. Pakaian-pakaian mewah kalian juga hasil kerja keras rakyat Aves. Semua bangku di ruangan ini pun rakyat Aves yang membuatnya. Bahkan, keringat rakyat Aves juga, lah, yang membangun istana ini hingga berdiri megah seperti ini!" Raja Niba mengambil napas panjang. "Jadi, kenapa rakyat Aves tidak boleh dimanjakan di hari spesial ini?” Raja Niba mengetukkan tongkat emasnya ke lantai istana dengan keras.
Raja Niba duduk di singgasananya. Tongkat emasnya tidak lepas dari genggaman. Semua burung yang ada di ruangan pesta menunggu dengan ekspresi tegang. Hanya suara napas berat Raja Niba dan detik jam pendulum yang terdengar di ruangan itu. Raja Niba sedang berpikir keras.
Pufus tidak berani memberikan saran apa pun. Sesekali, dia hanya memandangi bangku-bangku kosong dan pintu masuk yang disediakan khusus untuk rakyat Aves secara bergantian. Hingga dahinya mengernyit.
"Itu, kan ...." Pufus menutup mulutnya, lalu menunduk. Dia menyesal telah mengganggu Raja Niba.
Raja Niba menoleh ke arah Pufus. Raja Niba yakin, pasti ada yang disembunyikan oleh tangan kanannya itu. Sorot mata menelisik mencari tahu. Dalam sekejap, Raja Niba kejanggalan yang ada di ruangan pesta.
“Saatnya kita melayani rakyat Aves." Raja Niba beranjak dari singgasananya. "Petik beberapa lembar daun pisang, daun jati, dan kumpulkan batang bambu secukupnya.” Raja Niba menatap para tamu undangan. “Tidak ada yang boleh menyembunyikan makanan. Jika melanggarnya, berarti sudah siap menerima hukuman. Semua burung di ruangan ini wajib bekerja sama.” Raja Niba meninggalkan ruangan pesta.
Ruangan menjadi riuh dengan keluhan. Para tamu undangan juga saling menyalahkan. Mereka pun mengeluarkan makanan-makanan dari wadahnya masing-masing. Padahal, mereka telah menyembunyikannya dengan rapi.
Setelah perintah itu, suasanan istana mendadak sibuk. Raja Niba langsung menindak burung yang bersantai ria. Hingga semua makanan di istana tidak ada yang tersisa.
“Jalanan sudah dikosongkan dan dibersihkan, Raja,” lapor Pufus.
“Bagus. Tapi, tetap rahasiakan kejutan ini dari rakyat Aves," tegas Raja Niba.
Pufus memberikan isyarat dengan menyatukan ibu jari dan telunjuk membentuk lingkaran.
Raja Niba tersenyum, lalu menepuk bahu Pufus. "Terima kasih."
“Sekarang, perintahkan kepada semua burung di istana ini untuk turut memberi kejutan pada rakyat Aves.” Raja Niba melangkah menuju gerbang istana, lalu menyuruh pengawal membukanya.
Rombongan dari istana menyapa rakyat Aves. Raja Niba berada di barisan terdepan. Sambutan penuh kegembiraan membuatnya terbahak-bahak. Raja Niba menghentikan langkahnya, setelah semua barisan sudah berada di luar istana.
“Rakyatku yang tercinta, hari ini kita berpesta di sini." Raja Niba menunjuk jalanan yang mereka pijak.
Akan tetapi, pengumuman itu membuat sorakan kegembiraan rakyat Aves terhenti. Kebingungan terlihat jelas pada raut wajah mereka.
“Tenang saja, hidangannya sudah kami bawa dari istana.” Pufus turut bersuara. “Kita tinggal menikmatinya bersama-sama,” sambungnya.
Kedua tangan Raja Niba direntangkan ke arah barisan rombongan istana. Para pengawal, pelayan, menteri, hingga konglomerat menunjukkan makanan-makanan yang dikemas menggunakan daun pisang dan besek di tangan mereka.
Akan tetapi, rakyat Aves malah saling berbisik. Selain itu, tanpa aba-aba mereka berlari ke rumahnya masing-masing.
"Hei, tunggu! Mengapa kalian malah pulang?" Pufus kembali bersuara.
Akan tetapi, seakan-akan rakyat Aves tidak mengacuhkan ucapan Pufus. Senyuman Raja Niba kembali memudar. Rombongan istana pun kebingungan. Mereka menunggu titah dari Raja Niba. Namun, Raja Niba masih membatu setelah ditinggalkan rakyatnya.
Hingga beberapa saat kemudian, satu per satu rakyat Aves keluar dari rumahnya masing-masing. Mata sang raja yang terkenal bijaksana itu berkaca-kaca. Setiap keluarga rakyat Aves membawa sesuatu yang dibungkus daun pisang. Ternyata, rakyat Aves juga ingin berbagi makanan dengan Raja Niba beserta rombongannya.
“Para pelayan, cepat sajikan makanannya!” seru Raja Niba dengan riang. “Rakyatku, kalian tidak perlu membantu. Biarkan kami melayani kalian, ya.” Raja Niba terbahak-bahak.
Rakyat Aves bersorak. Mereka menyerahkan makanan-makanan pada para pengawal istana. Sebagian pengawal, membentangkan daun-daun pisang yang lebar di jalan. Kemudian, para pelayan istana menata masakan-masakan koki istana dan makanan-makanan dari rakyat Avesdi atasnya. Daun-daun jati dijadikan sebagai pengganti piring. SBuah-buahan di dalam besek dibagikan secara estafet. Minuma-minuman segar beragam rasa pun tidak ketinggalan disajikan.
Raja Niba dan semua burung duduk bersama-sama di jalan. Seakan-akan tidak ada perbedaan di antara mereka. Hanya bersama-sama menikmati hidangan dengan lahap dan penuh canda.