Sejujurnya, saya tidak yakin anak-anak akan bisa menikmati novel ini. Dari diksi dan level abstraksi dari isu yang diangkat, rasanya lebih seperti novel untuk orang dewasa dengan PoV dan tokoh anak-anak. Nevertheless, this is a good novel. Wajar sekali bila menerima banyak penghargaan dan diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Momo adalah sosok anak yang tak jelas siapa orang tuanya dan dari mana asal usulnya. Dia tinggal di sebuah amphitheater, di dunia antah berantah dengan setting Eropa. Dia menikmati hari-harinya sebagai anak-anak lainnya, dikelilingi oleh orang-orang dewasa yang peduli dan menyayanginya. Namun, hari demi hari teman-teman dewasanya semakin sedikit, tapi teman-teman anak-anak justru bertambah banyak, bahkan mereka dari tempat-tempat yang sangat jauh. Ternyata, orang-orang dewasa kini sangat terobsesi untuk menghemat waktu agar mencapai kesuksesan. Bermain dan mengobrol dianggap hanya membuang-buang waktu. Akibatnya, anak-anak tumbuh dalam kesepian dan kesendirian.
Kisah yang dibuat tahun 1973 ini memang layak disebut sebagai kisah klasik. Isu yang diangkat tak lekang oleh jaman. Bahkan, makin relevan seiring kehidupan manusia yang makin mengutamakan efisiensi. Petualangan Momo untuk menyelamatkan waktu sambil berkejaran dengan para Tuan Kelabu menarik untuk diikuti, sederhana tapi filosofis.
Michael Ende yang berkewarganegaraan Jerman dan hidup di saat negeri itu tengah menggenjot Industri. Sosok Momo, barangkali, adalah bentuk “protes” penulis akan masa kecil yang harus ia jalani, yang saya bayangkan begitu keras dan disiplin, yang semua bertujuan untuk percepatan kemajuan ekonomi.
Michael Ende dikenal dengan kemampuannya meracik realitas dan fantasi menjadi kisah-kisah yang penuh keajaiban. Saat membaca Momo, saya merasa bisa melihat dari empat sudut pandang, sudut pandang kanak-kanak yang diwakili Momo, sudut pandang orang dewasa yang diwakili Kaum kelabu, sudut pandang “Dewa kebahagiaan yang tak berdaya” yang diwakili Empu Hora, serta sudut pandang sosok impian orang dewasa (yang tetap jadi mimpi karena merupakan keinginan yang ditekan. Tidak heran, karena memang hidup seperti itu akan menyulitkan secara materi), Beppo dan Gigi.
Bagi orang dewasa, membaca buku ini akan membuat kita ingin berhenti sejenak dari rutinitas. Melihat lebih dekat dan berbicara lebih akrab dengan orang-orang yang ada di sekitar kita, apalagi anak-anak dan para orang tua. Selain itu, novel ini mengingatkan kita untuk tetap menjaga hubungan sosial di jaman yang makin individualistis.
Bagi anak-anak, hmmm, saya masih penasaran, bagaimana ya, respon mereka? Ada yang berpengalaman murid atau anaknya membaca buku ini?