Suasana istana Alecina sangat padat tapi senyap, orang-orang terdiam. Kedatangan Trio Ribut disambut pandangan yang sulit dimengerti. Setelah memberi hormat, mereka pun duduk di hadapan Sawerigading dan I We Cudaiq.
“Yang Mulia adikku, We Tenriabeng telah meminta petunjuk kepada dua Bissu langit tertinggi … “ Sawerigading membuka pengumumannya.
Ternyata, mereka menitahkan Sawerigading untuk membawakan peralatan bissu langit yang dulu diturunkan kepada We Tenriabeng. Namun, peralatan itu ditinggalkan di istana Luwuq.
Sawerigading merasa bimbang, karena ia kadung mengucap janji di hadapan tunggul Wellenreng bahwa ia tak akan pernah kembali ke Luwuq. Janji seorang keturunan dewata pantang diingkari, atau kematian akan mengintai. Selain para awak Wellenreng yang juga mengikuti Sawerigading, belum ada keturunan dewa lain yang pernah berlayar sejauh itu.
Di tengah kebingungan itu, I La Galigo berdiri,
“Biar saya saja, Paduka Ayahanda. Biar saya yang berlayar kembali ke Luwuq!”
I We Cudaiq berdiri dengan wajah pucat, “Tidak! Kamu masih terlalu kecil, Galigo! Lautan itu luas sekali! Ibunda tak mau kamu terluka!”
“Saya telah banyak berlayar, Ibunda. Sejak kecil Ayahanda telah membawa saya serta ke berbagai tempat bersama Wellenreng. Biarlah saya memimpin kapal bersama La Sulolipu dan La Pananrang, serta para pria muda yang terkuat di Alecina.”
“Tidak, Galigo. Kamu tidak akan bisa!” I We Cudaiq mengeras.
“Ini demi adik Dio, Ibunda. Lagipula, Ibunda sama sekali tidak mengenal saya. Ibu I We Cimpau lah yang membesarkan saya. Tanyakan kepadanya, ia tahu saya mampu!” Galigo menahan kekecewaannya. I We Cudaiq pun terdiam. Suasana istana menjadi lengang.
“Pengawal, jemputlah I We Cimpau dari istana Mario, segera.” perintah Sawerigading.
Kedatangan I We Cimpau disambut dengan upacara kehormatan. I La Galigo segera menghampiri ibu asuhnya itu, mereka berpelukan melepas rindu. Setelah bermusyawarah, akhirnya Sawerigading mengizinkan I La Galigo berlayar bersama Wellenreng, membawa awak muda terbaik di Alecina.
“Ini luar biasa, Galigo!” teriak La Sulolipu sambil mencebur ke lautan yang belum pernah mereka lalui sebelumnya. Ia berenang seolah menari bersama ikan-ikan besar. La Pananrang segera mengikuti. Namun, Galigo tetap di atas kapal. Galigo sadar kali ini dia adalah pemimpin, tak boleh sembrono meninggalkan kapalnya.
Kapal Wellenreng itu mengarungi lautan luas selama berbulan-bulan. Selama perjalanan itu mereka singgah di berbagai kerajaan, kadang harus menghadapi perompak, kadang pula tersesat. Walau begitu, akhirnya mereka selamat mencapai Luwuq. Sayangnya, bayangan Luwuq yang megah sirna seketika. Tanahnya gersang, penduduknya pun tak tampak makmur.
“Mengapa Luwuq menjadi seperti ini?” La Sulolipu keheranan.
“Kenapa lagi, ini akibat ayahandaku meninggalkan orang tuanya dan tanah yang seharusnya ia pimpin.” La Galiho mendengkus.
“Benar juga. Kalau begitu, sebaiknya kita tak usah mengatakan kalau kita adalah keturunan Luwuq.” usul La Pananrang.
“Betul juga, lalu bagaimana kita akan mendapatkan peralatan Bissu? Raja dan Ratu Luwuq pasti tak akan memberikannya begitu saja …” Kening La Sulolipu berkerut-kerut untuk pertama kalinya.
“Saya harap mereka masih punya belas kasihan untuk rakyat jelata … “ lamun La Pananrang.
“Baiklah, jangan ada seorangpun yang mengaku. Sampai kita benar-benar yakin, kalau Raja dan Ratu Luwuq tidak murka kepada anaknya,” putus La Galigo.
Mendengar Wellenreng berlabuh, hati Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng sungguh bahagia. Sejak ditinggalkan Sawerigading dan We Tenriabeng, panen dan perdagangan di Luwuq sangat menurun. Mereka penasaran, apakah Sawerigading yang datang? Ataukah dia sudah mempunyai keturunan yang akan mewarisi istana Luwuq?
Saking penasarannya, Batara Lattuq sendiri yang mendatangi mereka untuk memastikan. Namun, para awak kapal itu mengaku sama sekali tidak mengenal Sawerigading.
Sepulang dari sana, Batara Lattuq menceritakan kemiripan I La Galigo dengan Sawerigading, demikian pula La Sulolipu dan La Pananrang yang juga sangat mirip dengan La Pangoriseng dan La Massaguni. Walau mereka tak mengaku, namun Batara Lattuq yakin, mereka adalah keturunan Luwuq. Setelah sekian lama gelisah sejak kepergian Sawerigading, barulah malam itu kedua suami istri itu bisa tidur lelap.
I La Galigo lalu dipanggil ke istana dan disambut dengan hangat. Setelah menyembah hormat. Ia menyampaikan bahwa maksud kedatangannya ke Luwuq bukan untuk menetap, melainkan mengambil peralatan bissu untuk mengobati adiknya. Walau demikian Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng tetap bahagia, I La Galigo lalu diperkenalkan kepada para kerabatnya.
Setelah usai keperluan di Luwuq, I La Galigo pun kembali ke Alecina. Ajaib, begitu menerima peralatan Bissu itu, We Tenridio pun sembuh. Ia berterima kasih kepada I La Galigo , dan Galigo pun bahagia melihat adiknya bisa ceria bermain seperti kawan-kawannya.
Tahun berganti tahun. I La Galigo lalu menikah dengan sepupunya dari Luwuq, sementara We Tenridio menikah dengan pangeran dari istana langit.
Beberapa bulan kemudian, Batara Lattuq menyampaikan undangan bagi semua anak keturunannya untuk berkumpul di Luwuq. Sawerigading sangat senang karena ia pun rindu dengan Luwuq, tapi ia teringat sumpahnya. Rupanya, Batara Lattuq pun rindu dengan anaknya. Ia pun minta ijin pada Dewa Langit agar anaknya diampuni. Syukurlah, Dewa Langit kemudian memberi ijin kepada Sawerigading untuk pulang.
Saat berkumpul, Batara Lattuq menyampaikan bahwa Raja Langit telah memberi amanat bahwa seluruh keturunan dewata harus naik ke Dunia Atas atau turun ke Dunia Bawah. Tidak ada lagi keturunan dewata yang berada di bumi, melainkan satu pasang saja.
Guru Ri Selleng dan Sinaung Toja senang sekali melihat Sawerigading dan I La Galigo. Mereka ingin menjadikan Sawerigading sebagai raja di dunia bawah. Diajaknya Sawerigading, I We Cudaiq, dan I La Galigo turun ke dunia bawah. I La Galigo sangat kagum dengan keindahan dunia bawah. Seketika ia jatuh hati pada pesona laut yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Namun, I We Cudaiq masih enggan, dia ingin pulang ke Cina.
Senang sekali hati I We Cudaiq saat esok harinya Sawerigading melepas jangkar dan mengarahkan kapal mereka ke negeri Cina, namun ternyata mereka disambut guntur dan petir. Welengreng pun masuk ke pusaran air. Awak kapal panik pada awalnya, namun tiba-tiba laut menjadi tenang. Di depan mereka para pengawal kerajaan Peretiwi dengan kendaraan laut yang bertabur mutiara telah memimpin jalan menuju Istana Laut.
“Sejak awal, Kakanda sudah memutuskan kita akan tinggal di Peretiwi, bukan?” tanya i We Cudaiq dengan wajah masam.
“Betul, Adinda. Kita akan memimpin kerajaan yang keindahannya tak kalah hebat dibanding di atas sana. Aku yakin, Adinda akan menjadi ratu yang baik di negeri ini.” kata Sawerigading mantap.
Sesampainya di istana laut, mereka disambut dengan meriah oleh bangsa Peretiwi dengan aneka upacara, tarian, dan sajian.
Kemudian hari, Keturunan We Tenriabeng dari Dunia Atas (Salina Langiq) diturunkan ke bumi dengan bambu betung, sementara keturunan Sawerigading dari Dunia Bawah (Mutia Toja) muncul dari bawah laut, di istana Luwuq. Sejak itu putuslah hubungan Dunia Atas dan Dunia Bawah dengan bumi. Hanya sesekali sajalah orang-orang berdarah putih turun ke Dunia tengah.


