Sudah tiga bulan Sawerigading dan We Tenriabeng lahir, mereka tumbuh sehat dan menyusui dengan baik. Sebagai tanda syukur, Batara Guru, We Nyiliq Timoq, Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng menyelenggarakan upacara ayunan emas untuk keduanya. Upacara ini adalah upacara untuk memberi nama, gelar, panggilan, dan juga pusaka yang diberikan.
Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng menjaga amanat Patotoqe agar si kembar tak pernah dipertemukan. Upacara ayunan emas pun diselenggarakan terpisah. Batara Lattuq bersama para sepupu lelakinya di bagian luar istana, sementara We Datu Sengngeng dengan para sepupu perempuannya di bagian dalam istana. Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng menyelesaikan upacara untuk Sawerigading, baru kemudian pindah ke istana dalam untuk melaksanakan upacara untuk We Tenriabeng.
Karena mereka tumbuh semakin besar, istana Luwuq pun dibelah dua, keduanya dihiasi pepohonan aneka buah, sungai, bahkan lautan beserta ikan-ikannya. Istana We Tenriabeng dikelilingi tanaman bunga aneka jenis yang warna-warni dan harum sekali wanginya, diberi 7 sumur berjejer, ditanami pohon cendana di tengahnya. Sementara di bagian istana Batara Lattuq terdapat tiang melintang dan pancuran di tengahnya. Di antara istana yang ditempati We Tenriabeng dan Batara Lattuq dibatasi dengan pagar emas. Yang satu tak bisa saling melihat yang lain. Para penghuni istana juga diperingatkan agar jangan sampai satu patah katapun terucap bahwa mereka punya saudara kembar, bila tidak, mereka mati.
Sayang, saat berusia 3 tahun, We Tenriabeng diserang penyakit diam. Dia sama sekali tak bicara. Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng bingung, mereka tak menyerah untuk terus mencari pengobatan.
Dua tahun kemudian, Batara Guru bermimpi bahwa dirinya naik ke Istana Langit. Di sana dia sempat dihadang pengawal karena tak mengenalinya. Namun akhirnya, bertemulah dia dengan Patotoqe dan Datu Palingeq. Batara Guru diminta untuk pindah ke Dunia Atas beserta seluruh kemenakannya satu generasi. Begitu terbangun, Batara Guru pun bercerita pada We Nyiliq Timoq. We Nyiliq Timoq merasa sedih, karena sedang senang hatinya bermain dengan cucu-cucu, apalagi We Tenriabeng masih belum bisa bicara.
Akhirnya, datanglah Rukkeleng Mbopa ke Dunia Tengah membawa perintah Patotoqe. Dia juga meminta ijin kepada Raja dan Ratu Dunia Bawah, karena We Nyiliq Timoq akan tinggal di Dunia Atas.
Hari pelepasan pun tiba. Batara Guru telah membagi wilayah Luwuq untuk masing-masing anak dan saudaranya, lalu menetapkan Batara Lattuq sebagai penguasa istana Luwuq. La Pangoriseng diminta untuk selalu setia pada Batara Lattuq. Batara Guru berpesan agar mereka selalu menjaga keutuhan keluarga. Suasana amatlah haru, apalagi We Datu Sengngeng yang baru merasakan kembali memiliki orangtua yang sebaik We Nyiliq Timoq. Setelah beberapa waktu, dari Dunia Atas, Batara Guru mengirimkan peralatan bissu langit untuk We Tenriabeng. We Tenriabeng pun sembuh, dan ucapan pertamanya adalah doa.
Sawerigading pun menginjak usia remaja. Batara Lattuq mengadakan upacara pijak tanah, sambil diadakan pertandingan ayam di gelanggang istana Luwuq. Tamu-tamu pun datang silih berganti. Begitu upacara selesai dan tamu-tamu pulang, Batara Lattuq meminta agar pertandingan diteruskan oleh warga Luwuq agar Sawerigading bisa mengenal lebih banyak orang dari berbagai tempat.
Suatu hari, datang pamannya dari negeri jauh untuk ikut pertandingan. Saat itu, Sawerigading menyambutnya bersama dua sepupu akrabnya, La Sinilelee dan La Pananrang . Si Paman kagum akan cara berpakaian sepupu Sawerigading yang bergaya. Dia bertanya, apa kalian pernah ke Sama? Mereka semua menggeleng, bahkan baru mendengarnya. Si Paman pun tertawa, heran, kenapa Batara Lattuq tak pernah bercerita tentang pelayarannya? Maka si Paman menceritakan keistimewaan penduduk Sama, mereka pandai merancang pakaian yang sangat indah. Juga penduduk Moluka, yang sangat pandai bertutur sampai bahkan burung-burung mereka pun cepat belajar bicara.
Sawerigading jadi sangat penasaran, seperti apakah tempat-tempat itu? bagaimana orang-orangnya? Tapi dua bestienya itu malah prihatin, mereka saja dilarang kemana-mana, apalagi Sawerigading, putra mahkota penguasa Luwuq.
Sawerigading bergeming. Ia memberanikan diri menghadap ayahnya agar mengijinkannya berlayar.. Batara Lattuq ternyata senang. Terbit setitik harapan Sawerigading. Namun, Batara Lattuq menganggap Sawerigading belum cukup siap, karena di laut nanti dia harus menghadapi alam yang ganas, dan juga peperangan.
Sawerigading kecewa, tapi dua sahabatnya menghibur. Mereka memberitahu bahwa akan ada pertandingan di Negeri Dusung. Dulu, saat remaja, Batara Lattuq juga sering berkunjung ke sana dan ikut pertandingan ayam jantan. Ayam yang paling kuat, paling indah, dan paling keras kokoknya sehingga menakuti ayam lain adalah yang menang. Kali ini, Batara Lattuq setuju, tapi disertai pengawalan yang ketat.
Sawerigading ternyata memenangi semua pertandingan. Sepulang dari Dusung, Sawerigading menjadi jumawa. Kerjanya setiap hari adalah menonton dan mengikuti pertandingan ayam, tak ada yang berani menegur karena dia adalah anak raja. Tawa Sawerigading sangat keras, sampai terdengar ke Istana Langit. Kesal sekali Datu Palingeq mendengarnya. Patotoqe menenangkan istrinya, dia berkata akan mengirim surat emas. Ini adalah surat panggilan khusus. Sawerigading akan dipanggil ke Dunia Langit agar belajar tata budaya Dunia Atas.
Saat Raja dan Ratu Luwuq sedang berdiskusi, tiba-tiba langit gelap gulita, sampai-sampai tangan sendiri pun tak tampak, guntur menggelegar, rakyat ketakutan. Sekejap saja, matahari kembali tampak. Langsung pucat wajah Batara Lattuq. Di pangkuannya ada Surat Emas. Setelah membaca isinya, We Datu Sengngeng lemas, ia sadar kalau Sawerigading akan diminta tinggal di Dunia Atas. Namun, Sawerigading wajib memenuhi panggilan itu.
We Datu Sengngeng mengingatkan Sawerigading, bahwa dia akan dibujuk dengan berbagai cara agar ia mau tinggal di Istana Langit. Maka, Sawerigading haruslah memohon maaf pada Patotoqe, dan teruslah meminta agar dikembalikan ke bumi. Sawerigading mengerti. Kedua sepupunya bestienya, La Pananrang dan La Sinnile, juga diminta menemani, untuk mengingatkan Sawerigading untuk kembali ke bumi.
Dijemput guntur, petir, angin, dan pelangi, Sawerigading dan dua sobatnya pun naik ke langit.Namun baru sampai di awan, mereka dicegat oleh Setan Pelahap Manusia. Gemetar badan Sawerigading, melihat bumi di bawahnya begitu jauh, tak mungkin dia lari, bisa mati nanti, tapi kalau tetap di situ, mati juga dia dimakan, dua sobatnya malah sama sekali tak berani membuka mata. Untunglah pengawal dari Istana Langit datang, menghardik setan-setan itu. Mereka minta ampun karena tidak tahu yang datang adl keturunan Raja Langit.
Akhirnya mereka bertemu dengan P dan DP, senang sekali mereka melihat cucunya. Lalu dengan lembut, Sawerigading diajak tinggal di Istana. Tapi, seperti pesan orangtuanya, Sawerigading mohon maaf dan menolak. P dan DP tersenyum, mereka pikir, itu karena Sawerigading belum melihat Istana Langit dan saudara-saudara langitnya.
Lalu salah seorang pejabat istana pun diminta mengajak Sawerigading dan 2 bestie itu jalan-jalan. Mereka diajak melihat Sawerigading dkk melihat taman petir , sungai petir minyak wangi, laut kilat kesturi yang isinya ikan emas, rakit emas, perahu emas yang dinaiki para nelayan dewa. Dia juga bertemu Tanra Tellue, gadis Istana Langit yang gemar bermain gendang seperti dirinya. Mereka pun cepat akrab. Apalagi, Tanra Tellue tinggal di dekat istana kakek neneknya, Batara Guru dan We Nyiliq Timoq.
Kehidupan di Istana Langit sangat damai dan menyenangkan. Namun setiap Sawerigading terlihat menikmati, sahabat-sahabatnya mengingatkan lagi, kalau Sawerigading nanti harus kembali ke Dunia Tengah bersama mereka. Akhirnya, Sawerigading membulatkan tekad untuk berpamitan. P & DP hanya tertawa dan akhirnya ikhlas, mereka berpesan untuk menjaga kehormatannya sBatara Guru keturunan dewata.
Senang sekali hati Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng melihat anaknya kembali ke Bumi. Sikap Sawerigading setelah itu jauh lebih baik. Setelah lebih dewasa, akhirnya Batara Lattuq mengijinkan Sawerigading untuk melayari negeri-negeri yang dikuasai oleh Luwuq. Batara Lattuq menugaskan Sawerigading untuk mengunjungi setiap negeri dan belajar ttg tata masyarakat dan tata pemerintahan.
DI Moluka, dia melihat manusia disiksa, dipancangkan di tiang sebagai bagian dari upacara. Hatinya terusik, lalu dia menyuruh raja membebaskan mereka dengan tebusan, diberi pakaian, dan makanan. orang-orang yang disiksa itu sangat berterima kasih, belum pernah mereka bertemu dengan raja yang sebegitu lembut hatinya.
Sawerigading diberitahu bahwa ada ajang pertandingan ayam besar, dan dia diundang hadir. Sawerigading tidak akan ikut bertanding karena memang bukan itu tujuannya diutus berlayar. di sana dia bertemu dengan I La Galigo, si raja kelling, sang juara. I La Galigo orang yang sangat percaya diri, sehingga Sawerigading ingin anaknya dinamai I La Galigo juga kelak.
Ternyata, putri I La Galigo to Kelling meninggal dan kini berada di alam arwah. Sawerigading bertekad akan membawa Welleng ri Cina dari Waliala, negeri arwah, agar hidup kembali di dunia, dan dengan mengalahkan Waliala berarti dia menguasai dunia arwah.
Mendengar niat Sawerigading, I La Galigo to Kelling mencegah, karena makhluk hidup tak boleh mencampuri urusan orang mati. Pun juga bibinya di Luwuq, namun Sawerigading sudah kadung berniat, maka melajulah kapal-kapalnya ke Waliala, sebuah tempat misterius di bawah bumi, yang untuk menuju ke sana harus menembus tiga lapis lautan dan mengelilingi paretiwi 7 kali.
Sawerigading pun menghadapi makhluk-makhluk waliala yang sama sekali lain dengan di bumi. Waliala dipimpin seorang raja, Daeng Lebbi, tentara-tentaranya berbaju putih dan kuning, menggunakan cemeti, tombak, dan pedang putih, Sawerigading bertarung dengan sengit, namun Waliala bukanlah tempat bagi orang hidup. Pasukannya bergelimpangan. Sawerigading kalah telak, ia memohon bantuan dari langit, maka Waliala pun porak-poranda. Raja Waliala pun diturunkan karena lengah, membiarkan makhluk hidup masuk ke sana. Akhirnya, Sawerigading bisa bertemu dengan putri I La Galigotk, namun, Welleng ri CinaC mengatakan bahwa ia tak ingin kembali ke dunia tengah.
Sejak kekalahan itu, Sawerigading tak lagi berminat melaut. Kerjanya hanya berbaring di kamarnya, tak tampak semangat hidupnya. Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng pun gelisah. Akhirnya mereka memanggil We Tenriabeng. Ia tumbuh menjadi bissu yang cerdas dan bijaksana. Mereka minta tolong agar We Tenriabeng menasihati kakaknya, mereka yakin kakak kembarnya itu akan mendengarkannya.
We Tenriabeng pun berdoa meminta petunjuk untuk kakaknya. Ia mendapat petunjuk tentang obat patah hati kakaknya itu.
Walau baru pertama kali mereka bertemu, namun Sawerigading terkagum dengan kharisma We Tenriabeng. We Tenriabeng menyuruh Sawerigading berhenti bertindak dungu dan untuk segera berlayar ke Cina, karena di sanalah jodohnya tinggal, I We Cudaiq. Dari rahimnya nanti akan lahir anak lelaki penerus keturunan, yang ahli melaut, serta sangat menyayangi dan disayangi oleh Sawerigading. We Tenriabeng pun menunjukkan wajah I We Cudaiq yang cantik sekali.
Sebenarnya, Sawerigading sudah agak bersemangat, tapi rasa malasnya masih besar. Dia beralasan perahunya sudah tak layak untuk berlayar, apalagi berlayar jauh.
We Tenriabeng gemas, alasan Sawerigading tak dapat diterima. We Tenriabeng mengatakan bahwa Sawerigading bisa menebang pohon langit untuk memuat kapal. Pohon itu tumbuh sebuah saja di dunia ini. Tingginya menembus langit, akarnya tertanam di Jawa, dahannya lebar sampai Minangkabao. Pohon itu bernama Welenreng.
Mendengar keistimewaan pohon itu, Batara Guru membayangkan akan memiliki kapal yang kuat sekali. Ia pun bangkit, meminta ijin Batara Lattuq untuk membawa orang-orang terkuat di Luwuq untuk membantunya menebang pohon itu.
Orang-orang Luwuq yang terkuat itu membawa parangnya masing-masing. Batara Lattuq dan para pamannya pun turut serta dalam rombongan besar itu. Berlayarlah kapal itu berhari-hari lamanya.
Sampailah mereka di gunung Mangkuttuq, tempat pohon itu berada. Butuh 7 hari 7 malam untuk membuka jalan. Begitu terlihat pohon Welenreng, orang-orang pun tercengang dengan begitu besar dan rindangnya pohon itu. Mulailah mereka mencoba menebang. Hewan-hewan berteriak, berlalri ketakutan. Namun, 9 hari 9 malam, tak berhasil pula pohon itu ditebang. Batara Lattuq mengingat pesan dari We Tenriabeng, bahwa bila pohon itu tak bisa ditebang oleh kampak biasa, itu karena duduk makhluk raksasa langit di atasnya. Maka dibutuhkan parang yang diturunkan bersama Batara Guru saat turun ke bumi.
Batara Lattuq mengutus La Pangorinseng langsung ke Istana Luwuq untuk mengambil parang itu. Cepat-epat La Pangorinseng kembali ke Mangkuttuq. Ia pun disambuat dengan perasaan lega. Sawerigading mengayunkan parang Batara Guru, tak butuh lama, raksasa itu jatuh dari atas pohon sambil meratap, pelan-pelan pohon mulai tumbang.
Semua hewan, mulai dari burung, rusa, kerbau, sampai ular, yang lahir, yang mencari makan, yang berlindung di pohon itu meratap dan berteriak, mengenang semua yang hilang seiring jatuhnya pohon itu. Sebelum tebasan terakhir, pohon Welenreng menangis, sedih akan akhir hidupnya. Namun ia berserah, karena ia tumbang demi agar Dewata bisa mendapatkan keturunannya dari Sawerigading dan I We Cudaik.
Tertegun dengan dahsyatnya pengorbanan pohon Welenreng serta makhluk hidup di sekitarnya, Sambil berdiri di sebelah pohon Wélenréng yang rubuh, Sawérigading mengucapkan sumpah akan meninggalkan negerinya dan tidak pernah akan kembali ke Luwuq lagi. Baru setelah kelak ia berputra laki-laki, anak itu akan pulang untuk melanjutkan garis keturunan kerajaan nenek moyangnya.
Segeralah langit terbelah, dan dahan-dahan Welenreng meluncur jauh ke dalam, menuju Istana Bawah Laut. Di sanalah kapal Welenreng mulai dibuat, karena tak mungkin manusia bisa mengolah kayu perkasa itu.
Sementara itu salah satu dahan terlontar sampai ke negeri Cina, tepatnya di depan jendela kamar IG Cudaiq. Entah bagaimana, tiba-tiba I We Cudaiq merasa tak enak badan. We Tanriebeng, ibu I We Cudaiq punya firasat bawah jodoh I We Cudaiq akan datang, dan dia adalah seorang yang berdarah putih.
Tak perlu waktu lama, Kapal Welenreng telah siap. Tak hanya keemasan, tapi ukurannya pun sangat besar. Di antara persiapan keberangkatan, We Tenriabeng juga mempersiapkan pernikahannya dengan Remmang we Langiq. Saat upacara pemberangkatan kapal, We Tenriabeng mengabarkan kepada Sawerigading bahwa dia akan menghadapi 7 pertempuran di lautan, dan tak akan mudah pula mendapatkan I We Cudaiq menjadi ratunya. Sawerigading pun memutuskan akan berangkat usai pernikahan We Tenriabeng.
Keesokannya, bersama awan-awan dan pelangi, iring-iringan dayang-dayang langit turun ke bumi. Remmang Li Langiq menjemput We Tenriabeng, karena pelaminan mereka sudah siap. Setelah langit kembali tenang pertanda upacara pernikahan di langit sudah usai, Sawerigading pun berangkat.
Selama perjalanan, Welenreng diserang sebanyak 7 kali, pada 5 serangan pertama, Sawerigading berhasil menaklukkan lawannya. Namun, serangan di daerah Tenri begitu berat, sehingga Sawerigading memohon bantuan langit. Setelah itu, Sawerigading menaklukkan kapal yang baru kembali dari Cina., dan menawan penasihat mereka. Sekarang, lautan luas terbuka di depan mereka. Tapi, benarkah tak ada lagi rintangan?
“Jadi, demi berjumpa dengan ibumu, para ayah kita melaut ke tempat yang bahkan belum pernah mereka ketahui, ya?” La Sulolipu menggeleng-gelengkan kepala. “itulah mengapa, saya pun ingin melaut jauh sekali, siapa tahu, isteri saya adalah wanita di negeri yang jauh? pasti akan menarik sekali!”
“Pikiranmu hanya mengenai calon isteri saja, La Sulolipu!” La Pananrang mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah, sampai airnya saudaranya itu. Ia memang sengaja.
“Memangnya, kamu tidak?” I La Galigo mencibir.
“Kalau saya lebih tertarik pada Wellenreng. Pohon sekuat itu, tempat bergantung kehidupan banyak hewan dan tanaman, ditebang oleh Paduka Sawerigading, demi datang kemari. Sungguh, sebuah kehormatan untuk berlayar bersamanya.” Mata La Pananrang menatap jauh, di ujung sana, pucuk-pucuk layar Wellenreng terlihat, anggun merapat di dermaga.
“Saya juga ingin. Saya ingin melihat ikan-ikan di lautan yang berlompatan, menyelami lautan, dan melawan para perompak di lautan!” I La Galigo senyum-senyum, terkenang masa kecilnya, saat sang Ayah membawanya ke berbagai tempat bersama Wellenreng.
“Tidakkah kamu rindu pada I We Cimpau?” La Sulolipu bertanya, membuat La Galigo terdiam sejenak,
“Ya, saya rindu ibu saya. Bila saya hendak berlayar jauh nanti, pastilah saya ke sana meminta restu.” I La Galigo menghirup udara Alecina.
“Hey, kamu ingat tidak, dulu kamu menangis saat mengetahui ibu kandungmu bukanlah I We Cimpau?” La Sulolipu menggoda, “Cengeng sekali kamu, adik Galigo tersayang!”
“Enak saja! Memang cerita pernikahan mereka sungguh mengesalkan, bukan?” kali ini Galigo yang geleng-geleng kepala.
Mereka lalu saling bercerita,kali ini tentang asal-usul Galigo sendiri …


