Saya mencatat setidaknya terdapat dua hal pokok dalam sambutan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikdasmen, Hafidz Muksin, saat membuka kegiatan Lokakarya Penulisan Bahan Bacaan Literasi pada tanggal 25 Agustus 2025 di hotel Grand Mercure Harmoni Jakarta.
Pertama, terkait rendahnya literasi di Indonesia. Menurut Hafidz Muksin, salah satu permasalahan rendahnya literasi di Indonesia adalah minat baca yang kurang. “Dan ternyata minat baca yang kurang tersebut karena tidak adanya sumber bacaan yang mudah didapatkan. Yang kedua, ada sumber bacaan namun tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh anak-anak,” ungkapnya.
Kedua, soal pemahaman terhadap arti literasi. Hafidz Muksin menekankan bahwa literasi tidak sekadar seseorang bisa membaca namun lebih dari itu ia juga dapat memahami apa yang dibacanya dan dapat mengimplementasikannya dalam berbagai aspek kehidupan.
“Literasi menjadi fondasi seseorang untuk dapat meraih ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk dapat meningkatkan daya pikir, daya kreatif dan inovatif. Jadi teman-teman semuanya, saya harapkan tidak hanya pandai menulis namun juga harus pandai menginisiasi agar tulisan yang teman-teman tulis itu dibaca. Caranya, kita harus mulai dari kita sendiri, tidak hanya rajin menulis tetapi juga rajin membaca, dan tularkan kebiasaan-kebiasaan itu agar menular kepada anak-anak kita semua,” tandas Hafidz Muksin di hadapan 177 penulis se-Indonesia–para pemenang sayembara, yang diundang sebagai peserta dalam lokakarya tersebut.
Apa yang ditekankan oleh Hafidz Muksin dalam sambutannya, saya temukan benang merahnya dalam buku Panduan Lokakarya Penulisan Bahan Literasi yang dibagikan oleh panitia. Dalam buku itu dikatakan bahwa sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi, dan pintu masuk untuk mengembangkan budaya literasi bangsa adalah melalui ketersediaan bahan bacaan dan peningkatan minat baca anak. Minat baca tinggi, yang didukung oleh ketersediaan bahan bacaan bermutu dan terjangkau, akan mendorong pembiasaan membaca dan menulis, baik di sekolah maupun di masyarakat. Dengan kemampuan membaca ini pula literasi dasar berikutnya (numerasi, sains, digital, finansial, serta budaya dan kewargaan) dapat ditumbuhkembangkan.
Saya kemudian kembali mengingat pengalaman di lapangan khususnya beberapa tahun terakhir, terutama sebagai jurnalis pendidikan dan pegiat literasi dalam berbagai kegiatan. Terkait poin pertama yakni kurangnya bahan bacaan yang sesuai dengan minat anak-anak, saya sepakat bahwa hal tersebut benar adanya. Salah satu bukti nyata yakni koleksi buku-buku di perpustakaan sekolah yang masih didominasi oleh buku pelajaran (teks), atau dengan kata lain persediaan buku-buku bacaan (nonteks) masih sangat sedikit. Kalaupun ada–seperti kata Hafidz Muksin, buku-buku bacaan tersebut belum semuanya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh anak-anak. Ada pula yang belum sesuai kemampuan membaca anak-anak.
Mengenai poin kedua yakni soal pemahaman literasi, saya menemukan bahwa sebagian kalangan masih memahami literasi dalam arti sempit yakni bisa membaca dan menulis. Hal ini berdampak pada bagaimana implementasi program-program literasi misalnya di lembaga pendidikan. Literasi hanya menjadi tanggung jawab guru bahasa, literasi hanya soal membaca 15 menit di awal jam pelajaran, literasi hanya terkait anak-anak dilatih untuk menulis dan memublikasikan karyanya di mading sekolah, media massa, atau bahkan diterbitkan dalam buku antologi, menjadi contoh betapa literasi belum dipahami dalam arti luas. Pada sisi yang sama, aktifitas-aktifitas literasi masih terkesan sekadar menjalankan program, tanpa diikuti dengan rencana tindak lanjut yang terstuktur dan terukur.
Sejatinya, literasi bukan hanya soal bisa membaca dan bisa menulis. KBBI VI Daring menjelaskan literasi sebagai kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Untuk sampai pada tahap itu maka upaya pengembangan budaya literasi harus terus dilakukan, salah satunya melalui penyediaan bahan bacaan yang mendukung peningkatan minat baca khususnya anak-anak sebagai generasi masa depan bangsa. Namun, ketersediaan bahan bacaan tersebut perlu didukung dengan upaya pemanfaatannya, baik di lingkungan sekolah maupun dalam keluarga dan masyarakat.