Praaang… Suara piring pecah mengagetkan semua orang. Teman-teman langsung melihat pada Atikah yang berdiri seperti patung. Di dekat kaki Atikah, tampak pecahan piring dan makanan yang berhamburan di lantai. Aku segera berlari menghampiri Atikah
“Atikah, apa yang telah kamu lakukan?” jeritku tertahan.
“Aku…aku… eenggaak sengaja,” jawabnya tergagap dengan wajah pucat pasi. Beberapa detik kemudian, Atikah menangis. Tentu saja aku sebal padanya, karena ia telah membuatku malu.
Untungnya, Mama Arini buru-buru datang menenangkan Atikah. “Enggak apa-apa, Sayang! Jangan menangis lagi, ya! Biar Mbak Inah yang membersihkan lantai dan pecahan piring,” bujuk Mama Arini sambil merangkul Atikah dan mengajaknya duduk di pojok ruangan.
“Lea, kenapa tiba-tiba Atikah jadi aneh begitu? Padahal, aku hanya bertanya tentang kota Sukabumi padanya. Kebetulan sahabat penaku juga tinggal disana,” ujar Ardi.
”Saya juga nggak tahu, Ar,” jawabku menahan emosi.
Kenapa juga sih, si Ardi perhatian pada Atikah? gumamku. Tentu saja aku sedikit iri, karena Ardi itu termasuk salah satu cowok keren di sekolahku. Semua cewek di sekolah, pasti ingin mendapat perhatian darinya.
Pesta ulang tahun Arini dilanjutkan lagi. Sekarang malah diadakan games-games seru yang menarik dan berhadiah. MC mengajak kami berlomba-lomba menjawab pertanyaan atau ikut games yang dia adakan. Tapi aku sudah tidak berniat melanjutkan pesta ini. Moodku sudah hilang entah ke mana.
Lima belas menit kemudian, buru-buru aku pamit pada Arini. Padahal acara ulang tahun Arini belum selesai.
”Lho, kok Kamu sudah pengin pulang sih, Lea?” tanya Arini kecewa. ”Aku kan, belum tiup lilin ultah?”
”Maaf banget ya, Rin. Kepalaku agak pusing,” jawabku berbohong.
”Ya, udah, deh, nggak apa-apa. Terima kasih atas kedatanganmu. Hati-hati di jalan ya,” Arini mengesun pipiku.
Aku lalu menghampiri Atikah yang masih duduk sambil tersedu-sedu di pojok ruangan.
”Ayo, kita pulang!” aku segera menarik tangan Atikah. Dia sedikit kaget, tapi aku nggak peduli.
”Eh, kalian mau ke mana?” tanya Ardi di pintu keluar. ”Atikah, kamu sudah nggak apa-apa?”
”Kami mau pulang,” jawabku ketus. Uuuh... lagi-lagi Ardi perhatian banget pada Atikah.
Bruk... sampai rumah, tanpa sadar aku membanting pintu pagar. Atikah buru-buru berlari masuk ke dalam rumah.
“Kalian kok udah pulang?” tanya kak Todi di ambang pintu
“Semua gara-gara Kak Todi yang menyuruhku mengajak Atikah ke pesta ulang tahun Arini,” jawabku ketus. ”Padahal tadi aku sudah menolaknya, kan?”
”Memangnya apa yang telah terjadi?” tanya Kak Todi.
Aku segera menceritakan kejadian di pesta tadi pada Kak Todi.
“Ya, mau gimana lagi? Masa kamu tega meninggalkan Atikah sendirian di rumah? Tadi aku harus pergi bimbingan belajar. Sementara Papa Mama belum pulang kerja,” bela kak Todi
“Uuh, sudah tahu Atikah kuper dan pendiam begitu. Dia itu nggak tahu bergaul! Seharusnya tadi Kak Todi mengajak Atikah ke tempat bimbingan belajar saja.”
“Ya, nggak bisa, dong! Kamu kan tahu, ada aturan yang tidak memperbolehkan mengajak orang lain ke tempat bimbel.”
“Seharusnya, hari ini kakak nggak usah pergi bimbel! Biar Kak Todi bisa menemani Atikah di rumah.”
“Enak saja, kalo ngomong! Minggu depan aku UAN,” tukas kakakku yang kelas tiga smp itu.
Kami berdua terus saja berdebat dan tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya kami bertengkar. Aku kesal, karena Kak Todi terus saja membela Atikah. Akhirnya aku memilih masuk kamar
Jujur saja, aku merasa nggak nyaman, sejak Mama mengajak Atikah tinggal di rumah ini, semua jadi berubah. Padahal Atikah bukan siapa-siapa, dia hanya anak korban gempa bumi di Sukabumi. Kebetulan waktu itu Mama yang seorang dokter, bertugas di sana. Saat pulang, tiba-tiba mama membawa pulang cewek seusiaku.
“Mulai saat ini, Atikah akan jadi saudaramu , Lea,” kata mama saat pertama kali memperkenalkan Atika padaku.
Mulanya aku senang sekali, ku akan mendapat teman. Tapi Atikah itu tertutup sekali. Juga kampungan. Padahal aku sudah berusaha. Mengenalkan Atikah pada teman-teman, mengajaknya jalan, Teapi Atikah tetap saja selalu murung. Lama-lama aku kan, capek juga.
Besoknya, aku berangkat sekolah sendiri. Atikah sengaja aku tinggal. Aku juga nggak sempat sarapan. Ah, biar aku sarapan di kantin sekolah saja, gumamku.
Aku segera menuju kantin sekolah yang masih sepi, Hanya tampak beberapa anak. Aku memesan nasi kuning dan teh hangat, lalu duduk di kursi pojok dekat jendela kantin.
“Tumben, kamu sarapan di kantin,” tiba-tiba Ardi sudah duduk di sampingku. “Atika mana?”
Ehm… Atikah lagi… Atikah lagi, gumamku kesal.
“Aku sangat khawatir dengan keadaan Atikah,” kata Ardi.
“Memangnya kenapa, sih? Atikah baik-baik aja, kok.”
“Semalam aku penasaran banget, kenapa Atikah begitu, maka aku menelponmu. Tapi hapemu nggak aktif, jadi aku telpon ke nomer rumahmu. Eh, katanya kamu udah tidur. Untung Kak Todi mau menceritakan semua tentang Atkah kepadaku,” cerita Ardi
“Jadi… kamu sudah tahu semuanya?” aku mencibir.
Ardi mengangguk. “Emang nggak mudah menghilangkan trauma. Apalagi sampai kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Berat banget rasanya.”
“Duh…segitunya. Kayak kamu pernah ngerasain aja,” candaku asal.
“Karena aku juga mengalami seperti Atikah. Kamu pasti tahu tsunami di Aceh tahun 2004. Aku kehilangan kedua orangtuaku dan saudaraku. Untung ada Bapak dan Ibu Wirawan yang mau mengadopsiku.”
“Jadi… kamu anak angkat juga?” tanyaku tidak percaya.
Ardi mengangguk. “Iya, makanya aku bisa merasakan yang dirasakan Atikah. Seharusnya kamu membantu Atikah untuk keluar dari masalahnya ini, aku aja butuh bertahun-tahun untuk menghilangkan trauma itu.
Aku tertunduk. Aku menyesal sudah berbuat kasar pada Atikah.bagaimana bila aku yang mengalaminya? Belum tentu aku akan sekuat Atikah.
“Kamu harus membantu Atikah, Lea. Atikah butuh semangat untuk menjalani hidupnya lagi. Kamu mau, kan?”
Aku mengangguk. Aku janji akan membantu Atikah. “Tapi ngomong-ngomong, kamu suka pada Atikah, ya?”
Ardi tertawa. “Nggak lah, aku kan sukanya sama kamu…” kata Ardi pelan, tapi aku jelas mendengarnya.
“Wow… aku seperti melayang ke awan. Aku semakin bersemangat membantu Atikah. Aku juga sayang Atikah.