Dika menatap neneknya dengan tatapan kagum. Neneknya terlihat cantik dan segar, berkulit putih bersih dengan senyum menawan. Senyumnya menambah bias cahaya di wajahnya yang bersinar.
“Apa yang ada di hatimu, Nek?” tanya Dika perlahan. Dika menatap cermin, kemudian menatap bola matanya sendiri lamat-lamat. Perlahan tetapi pasti, Dika menatap bayangan dua sosok yang sedang menggandeng anak kecil laki-laki. Anak lelaki itu tampak bahagia, wajahnya tersenyum dan tertawa renyah. Di kiri kanannya lelaki dan perempuan setengah tua menggamit mesra.
Perlahan genggaman dari lelaki itu melemah, kemudian terlepas. Perlahan pula, sosok bayangan lelaki itu hilang entah kemana. Tinggallah wanita setengah tua yang terus menggamit tangannya penuh kekuatan.
Bola mata Dika berembun, dia ingat lelaki itu. Dia adalah Kakek, yang sangat memanjakannya. Dika ingat, setiap sore dimandikan Ibu agar wangi dalam menyambut Kakek. Akhirnya Kakek pulang kerja dengan membawa mainan untuknya. Hampir setiap hari seperti itu.
Tetapi pada suatu sore, Dika sangat letih menunggu Kakek. Mengapa Kakek belum pulang juga? Hingga Ayah muncul dan menggendong Dika sambil menangis. Dika ingat kala itu banyak sekali tamu. Mereka banyak yang menciuminya sambil menangis. Mengapa mereka menangis? Kini Dika mengetahui jawabannya. Barulah air mata itu terurai merembesi pipi. Maafkan aku, Kakek. Baru sekarang kusadari kepergianmu, batin Dika perih.
Bola mata Dika memantulkan lagi bayangan perempuan sepuh yang masih menggenggam tangan anak lelaki dengan erat. Tetapi secara perlahan, genggamannya mengedur kemudian terlepas. Anak lelaki itu dirinya, dia memanggil-manggil perempuan sepuh itu.
“Nenek … Nenek …!” panggilnya keras. Tangannya menggapai-gapai.
Bayangan perempuan sepuh itu masih ada tetapi mulai samar. Perlahan terdengar suaranya yang lembut berkata, “Selamat tinggal, cucuku yang sholeh. Nenek akan bertemu Kakek sebentar lagi. Jadilah lelaki hebat dan penyayang. Selamat tinggal, Sayang.”
Dika tersentak melihat bayangan di bola matanya yang mulai kabur. Bola matanya telah dipenuhi air, bayangannya pun telah hilang. Di hadapannya terbujur neneknya yang cantik berkulit bersih sedang tersenyum.
“Sudahkah kau berjumpa dengan Kakek, Nek? Sampaikan salam kangenku padanya. Aku akan jadi lelaki hebat dan penyayang seperti Kakek,” bisiknya lirih.
