Hari sudah beranjak sore, sudah waktunya pulang. Tetapi Nabil ingin tetap di sini, sebuah tempat yang tersembunyi di sebuah bukit yang indah. Orang-orang yang berlalu lalang di bukit ini tidak mengenalnya, mereka bagaikan turis yang juga menikmati indahnya puncak bukit.
Anak lelaki itu menatap kepalan tangannya yang terluka, darah sudah tidak keluar lagi tapi masih menyisakan nyeri. Nabil meringis, bagaimana nanti bila mamanya melihat tangannya yang penuh luka ini. Pertama pasti akan mengomel sambil membersihkan luka-luka, setelah itu mama akan menangis di tengah malam. Menengadahkan tangan untuk berdoa, persis seperti malam-malam itu ketika Nabil terluka pula.
Anak lelaki kelas 6 sekolah dasar itu berdiri setelah lama duduk memeluk kakinya. Ditariknya nafas perlahan sambil mengembangkan tangannya. Matanya terpejam, terbayang wajah mamanya yang sendu. “Apakah mama sekarang sedang menunggu aku pulang?” tanyanya dalam hati. “Tapi jika aku pulang, mama pasti akan marah,” bisik batinnya lagi.
Tiba-tiba angin menggelebuk kencang membuat benda apapun yang ada di sana terseret beberapa jengkal. Termasuk Nabil yang sedang berdiri memejamkan matanya. Anak itu sangat terkejut, dia segera meraih apa yang ada didekatnya. Pakaian seragam sekolahnya berkibar-kibar di tubuhnya, tas gendongnya yang ada di tanah pun terseret. Angin itu datang secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu.
Kemudian keadaan menjadi normal kembali. Nabil melepaskan pegangannya dari pohon yang dekat dengannya. Diapun meraih tasnya seakan takut kehilangan. Didekapnya tas itu untuk menenangkan dirinya yang kalut. Nabil menatap sekelilingnya, sepi. Tak ada satupun makhluk hidup di sana. Manusia, kucing, atau burung-burung terbang pun tak ada. Nabil merasa aneh dan mulai sedikit takut. Kemana mereka pergi? Hanya tempat-tempat makan dan gazebo yang kosong melompong. Kendaraan berjejer rapi di tempat parkir, namun tak ada satupun orang di sana. Nabil keheranan sekaligus merasa ada yang aneh.
“Pulanglah!” terdengar suara berat yang keras. Nabil terlonjak kaget, hingga tak menyadari menjatuhkan tasnya lagi. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan cepat, nafasnya tersengal jantungnya pun berdegup kencang bagaikan sudah berlari sprint.
“Sh…sh…s..ii..a…ppa?” tanya Nabil dengan suara gemetar.
“Pulanglah, hai Nabil. Ibumu sudah mencemaskanmu sedari tadi!” perintah suara berat itu lagi.
Bibir Nabil bergetar, dia ingin mengucapkan sesuatu namun tak kunjung keluar.
“Mmm…mma…mma,” hanya itu yang keluar dari bibirnya.
“Ibumu menangis menunggumu pulang, dia terus berdoa agar kau cepat kembali. Pulanglah!”
Nabil mengangguk dengan wajah ketakutan, dia masih belum tahu suara apakah itu. Terlebih mengapa tempat ini menjadi mencekam tanpa satupun yang berlalu lalang. Bukankah sebelum angin itu datang, tempat ini masih ramai?
Perlahan Nabil meraih tas sekolahnya lagi, terlihat tangannya yang penuh luka. Ditatapnya lagi tangan itu.
“Tak usah kau cemaskan luka-lukamu, katakan yang sebenarnya pada ibumu mengapa kau berkelahi lagi!” seru suara itu seakan tahu yang ada di pikirannya.
Nabil tersentak, dia menyembunyikan tangannya.
“Jika kau tak ingin ibumu bersedih, berhentilah berkelahi!” seru suara itu lagi.
“Tapi mereka terus menghinaku, mereka terus mengolok-olokku. Aku ga mau dihina terus karena nilaiku jelek,” jawabnya lancar. Entah dari mana keberanian itu muncul. Dia memang punya alasan untuk berkelahi, hanya untuk membela diri saja.
“Kalau begitu, belajarlah yang rajin. Berkelahi dan sembunyi bukan cara yang baik keluar dari masalah. Aku tahu kau tidak ingin ibumu bersedih. Buatlah dia bangga dengan prestasimu dan lawanlah mereka dengan nilai-nilaimu yang bagus!” ujar suara itu lebih terdengar melunak.
Nabil terpaku, dia memang tak suka belajar di rumah. Belajar membuatnya bosan dan mengantuk. Dia lebih suka tidur dan bermain.
Hingga pada suatu ketika dia terbangun di malam hari mendengar isakan tangis mamanya. Nabil mengintip dan terkejut, mama sedang berdoa setelah shalat dengan berurai air mata. Ada sesak di hati Nabil ketika namanya disebut. Mama sedang mendoakannya menjadi anak yang baik.
Sekali dua kali, tangisan mama semakin sering. Nabil sedih karena dirinya menjadi beban pikiran. Dia bertekad menjadi anak yang dapat membuat mama bangga. Tetapi kelakuan teman-temannya tadi siang di sekolah telah membuatnya kalap kembali. Mereka terus menyebut dirinya bodoh karena nilai ulangannya jelek. Akhirnya Nabil kembali berkelahi dan tak berani pulang ke rumah.
“Berjanjilah untuk rajin belajar!” seru suara itu membuyarkan lamunan Nabil.
“Ya, aku janji,” ujar Nabil pelan.
“Berteriaklah sekuat tenaga kau akan rajin belajar dan membuat ibumu bangga!” teriak suara itu.
Nabil menelan ludahnya kecut sekaligus senang suara itu menyemangatinya untuk memiliki tekad.
“Aku akan rajin belajaar!” teriak Nabil keras.
“Lebih kuat lagi!” seru suara itu.
“Aku akan rajin belajaaaaaar!!” teriak Nabil lebih keras dari semula.
“Aku akan membuat mama banggaaaaaa!!” teriaknya lagi tanpa diminta.
“Mamaaaaa, maafkan Nabil!!! Nabil akan jadi anak yang bikin mama banggaaaaa!!!” teriaknya lebih keras lagi hingga menggema ke seluruh bukit.
Tiba-tiba awan mendung serasa menyingkir perlahan, cuaca cerah kembali seperti sebelumnya, suasana bukit ramai kembali dengan suara-suara manusia yang hilir mudik di bukit itu, tidak mencekam dan juga tidak murung. Matahari masih nampak hendak tenggelam di ufuk barat. Tampak beberapa ekor kucing berjalan santai di pelataran parkir, petugas parkir pun nampak sedang duduk-duduk di kursi santainya. Walau takjub dengan perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba, tetapi Nabil tidak mau kehilangan kesempatan. Dia segera meraih tasnya dan berlari menuruni bukit, pulang menuju mamanya dan memenuhi janjinya.
Dia berhenti sejenak, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara tadi. Tetapi suara itu telah hilang seiring menyingkirnya awan. Kemudian Nabil menatap kepalan tangannya. Matanya terbelalak, tangannya mulus. Kemana luka-luka itu pergi? Dia pun bersorak kegirangan sendirian, tak peduli pada mata-mata yang menatap lucu pada seorang anak yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Nabil terus berlari dengan senyum merekah, dia tahu pelajaran apa yang pertama kali harus dipelajarinya.
