Lukisan yang Tak Pernah Selesai
Oleh: Hafiyan Al Muqaffi Umary
27/7/2025
I
Namanya Arya. Seorang pelukis jalanan yang hidup dari coretan-coretan kecil yang ia jual di perempatan kota tua. Tak pernah masuk galeri, tak pernah dipamerkan, lukisannya hanya dinikmati oleh orang-orang yang tak pernah bertanya siapa dia. Tapi bagi Arya, itu cukup. Yang penting ia masih bisa melukis. Yang penting ia masih bisa mengingat.
Di sudut kamar kontrakannya yang sempit, berdiri satu kanvas besar—terlalu besar untuk ruangan itu—yang selalu ia kerjakan setiap malam. Tak pernah selesai. Arya akan duduk di depannya selama berjam-jam, menambahkan satu garis, satu warna, lalu menatapnya dalam diam.
Lukisan itu adalah wajah seorang perempuan muda. Wajah yang samar, belum utuh. Ada kerinduan yang menyesak di setiap guratannya, seakan ia sedang berusaha mengabadikan seseorang yang perlahan memudar dari ingatannya.
II
Dulu, ada perempuan bernama Amara.
Mereka bertemu di studio seni milik pemerintah kota, saat Arya masih menjadi mahasiswa seni rupa. Amara datang sebagai relawan, membantu mendokumentasikan kegiatan. Rambutnya sebahu, suaranya tenang. Tapi matanya, selalu seperti menyimpan musim hujan. Mereka berteman, lalu mencintai, lalu hidup dalam dunia kecil yang penuh warna dan kebebasan.
Tapi hidup tak selamanya berjalan lurus. Amara menghilang. Begitu saja. Suatu malam, setelah pertengkaran kecil tentang hal sepele, ia pergi dan tak pernah kembali. Tidak ada surat, tidak ada kabar. Seperti ditelan bumi. Arya mencarinya ke mana-mana. Ke studio tempat mereka biasa berkarya, ke warung tempat mereka biasa makan, bahkan ke rumah sakit. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang pernah melihatnya lagi.
Sejak saat itu, lukisan itu lahir.
Lukisan yang tak pernah selesai.
III
Tahun berganti. Arya tetap di kota itu. Tetap melukis, tetap sendiri, dan tetap menyimpan lukisan yang tak pernah rampung. Ia sudah berpindah kontrakan dua kali, tapi lukisan itu selalu dibawa. Berat, lusuh, tapi penuh nyawa. Kadang orang bertanya, "Kenapa tak diselesaikan saja?"
Ia hanya tersenyum.
"Sebab dia belum kembali."
Arya mulai dikenal sebagai orang aneh di sekitar pelukis jalanan. Mereka tahu Arya tak mau menjual lukisan itu, tak mau menyentuhnya kecuali malam tiba, dan selalu menyimpan surat-surat tua di balik kanvasnya. Surat-surat dari Amara. Surat yang tak pernah sampai.
IV
Suatu hari, seorang perempuan asing datang ke tempat Arya biasa melukis di perempatan. Ia mengenakan kacamata hitam, membawa anak kecil, dan berdiri lama memandangi karya-karyanya. Saat Arya menyapanya, perempuan itu hanya tersenyum. Tapi senyum itu, meski hanya sekejap, membuat Arya terdiam.
"Aku mengenal senyum itu," pikirnya. Tapi ia tak mengatakan apa-apa.
Perempuan itu pergi. Tapi keesokan harinya, ia datang lagi. Kali ini tanpa anak kecil. Dan ia membeli satu lukisan kecil bergambar pohon beringin tua.
Sebelum pergi, ia menulis sesuatu di balik lukisan itu.
"Mungkin sudah saatnya kamu menyelesaikannya."
Arya membacanya berulang kali. Tulisan tangan itu begitu familiar. Dan meskipun ia tak punya bukti nyata, hatinya berkata bahwa itu adalah Amara.
V
Malam itu, Arya duduk di depan lukisan besarnya. Ia menatap wajah yang belum rampung itu, lalu mengambil kuas dan mulai melukis. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia menyentuh bagian yang paling ia takuti—matanya.
Satu garis. Dua titik. Satu cahaya.
Air mata jatuh di pipinya saat ia menyelesaikan sentuhan terakhir.
Lukisan itu akhirnya selesai.
Dan ketika fajar datang, ia menatapnya dengan senyum. Bukan senyum kebahagiaan, bukan pula kesedihan. Tapi senyum seseorang yang akhirnya bisa melepaskan.
Esok paginya, Arya tak datang ke perempatan seperti biasa. Ia juga tak kembali ke kontrakan. Tapi di tempat ia biasa melukis, seseorang meletakkan lukisan besar bergambar seorang perempuan dengan mata yang penuh hujan—dan senyum yang tenang.
Dan di sudut kanvasnya, tertulis:
"Untuk Amara, yang pernah ada. Dan akan selalu ada."
— Tamat —