“Kibe… Kibe… bangun sayang, sudah pagi!” Ibu Kibe tersenyum memanggilnya sambil menggelitik kakinya yang sudah menjuntai keluar dari kantong ibunya. Kibe menggeliat dan kepalanya keluar dari kantong. Kibe merasa ada yang aneh, sepertinya kantong ibunya semakin kecil dan tidak lagi bisa menutupi seluruh tubuhnya. Kedua tangan Kibe tidak bisa masuk ke dalam kantong lagi. Sudah waktunya Kibe harus keluar kantong dan bermain dengan anak kanguru lainnya. Ibunya sudah berulang kali meminta Kibe untuk keluar dari kantong, namun Kibe tidak mau keluar. Semuanya terasa asing baginya, dia belum pernah keluar dari kantong ibunya yang nyaman.
Ibu Kibe melompat menuju hutan untuk mencari makanan. Tubuh Kibe yang sudah besar membuat ibunya kesulitan melompat. Kibe yang berada di dalam kantong, mendengar suara ibunya terengah-engah. Sesekali ibunya terhenti sejenak karena kelelahan. Kibe merasa kasihan, ibunya kelelahan menahan berat tubuhnya. Terkadang Kibe berpikir untuk keluar, tapi dia takut. “Lihat Kibe! Ada pohon apel yang buahnya sudah matang,” kata ibunya. Ibu melompat untuk mengambilnya, tapi lompatannya tidak cukup tinggi untuk meraih buah apel itu. “Kibe keluar sebentar, ya… supaya Ibu bisa melompat menggapai apel itu.” Kibe menggelengkan kepala dan menggenggam kantong ibunya dengan kuat.
Kibe melihat buah-buah apel matang dengan warna merah yang menggoda. Apel merah yang manis adalah makanan favoritnya. Ibu membujuknya agar keluar sebentar, setelah buah-buah apel itu dipetik, Kibe bisa masuk kembali ke dalam kantongnya. Akhirnya Kibe memberanikan diri untuk keluar. Perlahan Kibe menurunkan kakinya yang besar itu, terasa sedikit geli karena itu pertama kalinya dia menginjak tanah. Ibu melompat tinggi dan berhasil menggapai buah-buah apel. Melihat itu, Kibe melompat-lompat sambil bertepuk tangan. “Hore… hore… Ambil lagi, Bu… Ambil yang banyak apel merahnya,” ucap Kibe. Ibu senang melihat Kibe melompat-lompat girang. “Akhirnya Kibe berani keluar,” ucap Ibu dalam hati.
Tidak sadar Ibu mengambil buah apel kebanyakan. Keranjang yang ia bawa tidak cukup besar untuk membawa semua apel-apel ini. Tidak mungkin Ibu meninggalkan apel-apel ini membusuk. Ibu Kibe memasukkan sebagian apel itu ke dalam kantongnya. Setelah semuanya beres, Ibu mengajak Kibe pulang. Kibe menangis “Huaaaa… Hiks… Hiks… Hiks….” Dia takut untuk berjalan pulang, dia ingin masuk ke dalam kantong ibunya, namun kantongnya yang nyaman itu sudah terisi apel. Ibunya memeluk Kibe sambil berkata “Tidak apa-apa, Kibe!” Seketika Kibe berhenti menangis. Ini pertama kali dia dipeluk ibunya, ada perasaan nyaman di dalam hatinya. Setelah tenang Ibu menggenggam tangan Kibe dan mengajak Kibe pulang dengan berpegangan tangan di sepanjang perjalanan. Kibe merasakan tangan Ibu yang hangat, Kibe tidak takut lagi.
Di perjalanan pulang mereka bertemu penghuni hutan lainnya. Dari atas pohon terdengar suara Pak Tupai dan Pak Beo sedang bercengkerama. “Hai Kibe, wah kamu hebat sudah berani keluar kantong. Ini buah ceri untukmu!” ucap Pak Tupai. “Ini juga buah anggur untuk Kibe yang pemberani,” ucap Pak Beo. Kibe tersenyum bahagia dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Tupai dan Pak Beo. Mendapat buah ceri dan anggur, Kibe merasa senang karena buah-buah ini sangat manis sekali. Sesampainya di rumah, Ibu mengambil wadah kemudian mengeluarkan buah-buah apel itu. Tiba-tiba Kibe dengan cepat masuk ke dalam kantong ibunya lagi. Ibu Kibe terkejut. Kibe merasa sangat senang bisa masuk ke dalam kantongnya yang hangat dan nyaman.
Keesokan harinya Ibu kembali memintanya untuk keluar kantong, namun Kibe tidak mau keluar. “Kantong Ibu sangat nyaman dan hangat,” ucap Kibe dalam hati. Setelah mengambil buah apel untuk sarapan, Kibe kembali masuk dan memakan apel merah kesukaannya di dalam kantong ibunya. “Kibe, coba lihat, mereka sedang asyik bermain,” Ibu menunjuk ke arah sekumpulan anak kanguru yang sedang bermain bola. Kibe merasa tertarik untuk ikut bermain. “Hai Kibe, ayo ikut bermain bola!” ucap salah satu anak kanguru. Kibe mulai memberanikan diri untuk keluar dan bermain bola, ternyata bermain bola sangat asyik. Kakinya yang besar membuat Kibe bisa melompat tinggi dan menendang dengan kuat. Setiap kali bola yang ditendang Kibe masuk ke gawang, dia melompat-lompat senang.
Saat malam tiba, Kibe merasa sangat mengantuk karena kelelahan seharian bermain bola. Ia ingin masuk ke dalam kantong ibunya. Namun, saat hendak masuk, kantong ibunya sudah tidak muat lagi. Kibe mendorong dan mencoba memaksa masuk, tetapi tubuhnya yang besar tidak bisa lagi masuk ke dalam kantong yang nyaman itu.
“Hiks… Hiks… Hiks…” Kibe menangis.
Ibunya tersenyum lembut sambil memeluknya. “Tidak apa-apa, Kibe. Kamu sudah besar sekarang. Kamu sudah jadi anak kanguru yang hebat dan pemberani,” ucapnya. “Kamu tidak lagi membutuhkan kantong Ibu untuk merasa aman, karena sekarang kamu punya kekuatan sendiri.”
Kibe merasakan pelukan Ibu yang sangat hangat. Ia baru tahu kalau pelukan ibunya begitu nyaman, bahkan lebih nyaman dari kantongnya. Setelah itu, Kibe tertidur lelap dalam pelukan hangat ibunya. Sejak saat itu, Kibe tidak lagi tidur di dalam kantong. Ia selalu tidur di samping ibunya, merasa aman dan nyaman dalam pelukan yang menenangkan. Kibe menyadari bahwa tumbuh dewasa bukanlah hal yang menakutkan, melainkan sebuah petualangan baru yang menyenangkan.