Sayembara Gerakan Literasi Nasional (GLN) merupakan salah satu event kepenulisan tahunan yang diadakan oleh Badan Bahasa Kemendikbudristek. Entah kenapa, event GLN ini selalu menarik perhatian para pegiat literasi bacaan anak di tanah air.
Sejak pertama kali diadakan pada tahun 2016 lalu, GLN selalu dibanjiri oleh ribuan naskah peserta yang masuk. Meski peluang untuk lolos dalam ajang GLN ini sangat kecil, mereka tidak pernah bosan untuk terus mencoba. Hingga akhirnya ada yang bisa berhasil lolos, setelah mencoba beberapa kali. Namun ada pula yang masih tetap saja gagal, hingga percobaan terakhir.
Meski demikian, para penulis tetap antusias untuk mengikuti GLN. Entah magnet apa yang membuat para penulis begitu berbondong-bondong untuk berpartisipasi dalam GLN. Padahal masih banyak event kepenulisan bergengsi lainnya.
Salah seorang teman penulis, pernah bilang. Dia merasa belum sempurna menjadi seorang penulis, kalau belum lolos GLN. Sebenarnya, seperti apa daya tarik GLN hingga bisa menghipnotis para penulis di tanah air?
Sekalipun penasaran dengan GLN, tapi saya masih belum berani ikut bersaing bersama mereka. Selama ini, saya hanya bisa menyimak kehebohan teman-teman mempersiapkan naskah dan keseruan mereka saat mengikuti bimtek. Alasannya hanya satu, yakni bapak.
Semenjak ibu tiada, saya tidak bisa meninggalkan bapak sendirian di rumah. Selain usianya yang sudah tidak muda, bapak itu tipe manula yang hyperaktif. Dia tidak pernah betah, hanya duduk-duduk santai seperti manula lain yang sebaya dengannya. Selalu saja ada aktivitas yang dia lakukan hingga membuatnya kelelahan dan akhirnya jatuh sakit.
Seandainya saya lolos seleksi GLN, lalu bagaimana dengan bapak? Bukankah para penulis GLN terpilih itu harus mengikuti kegiatan bimbingan teknis (bimtek) selama 5 hari? Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, saya mencoba mengubah pola pikir yang ada.
Ah kenapa saya begitu yakin, kalau ikut mengirim naskah ke GLN bakal langsung ikut bimtek? Tidak juga kan? Naskah kita harus bersaing ketat dengan ribuan naskah lain di meja panitia. Bukan hanya itu, naskah kita juga harus mampu memikat perhatian juri, jika ingin lolos seleksi.
Hingga akhirnya, saya mencoba ikut mengirim naskah ke GLN beberapa tahun setelah Bapak tiada. Saya gagal, dalam percobaan pertama. Namun, saya tidak menyerah dan mencoba mengirim lagi di tahun-tahun berikutnya. Setidaknya, saya masih memiliki kesempatan untuk lolos, meski peluangnya sangat kecil. Daripada tidak ikut mengirim sama sekali.
Saya pun, mencoba mencari tema dan ide apa yang sekiranya bisa menarik perhatian juri. Kemudian, terpikirlah permasalahan sampah yang terjadi di sekitar rumah. Sebenarnya hal tersebut sudah menjadi salah satu permasalahan utama di kota Bandung.
Para pengurus memutuskan untuk tidak menggunakan jasa tukang pengangkut sampah. Lalu, ke mana semua sampah itu dibuang? Selain mengumpulkan sampah anorganik seperti botol plastik dan kardus bekas, mereka berinisiatif untuk membuat peternakan magot.
Saya pikir kalau mengangkat tema tersebut, sebagai bahan tulisan maka risetnya tidak perlu jauh dari rumah. Selanjutnya, keadaan sekitar rumah yang berupa gang sempit yang memanjang seperti lorong. Lalu terpikirlah sebuah judul “Gang Seribu Punten”
Tidak disangka-sangka, ternyata naskah jenjang D ini bisa menarik perhatian juri. Naskah yang awalnya hanya mencoba-coba, justru mampu bersaing dengan ribuan naskah lainnya. Saya sangat terharu, karena teringat ibu dan bapak yang telah tiada. Seandainya mereka masih ada, akan seperti apa reaksi mereka atas pencapaian ini.
Rasanya seperti mimpi, saat saya harus melakukan perjalanan menuju tempat bimtek. Untunglah, banyak teman-teman dari Bandung yang lolos seleksi juga. Sehingga saya tidak perlu melakukan perjalanan sendirian ke Jakarta.
Meski demikian, saya merasa masih belum berada dalam kesadaran penuh saat perjalanan. Entah bagaimana ceritanya, hingga ransel yang berisi laptop untuk presentasi sempat tertinggal di stasiun whoosh Padalarang. Untunglah, ransel tersebut masih bisa ditemukan dan ikut jadwal pemberangkatan whoosh berikutnya. Alhamdulillah...
Begitu tiba di tempat tujuan, saya begitu terpesona dengan keadaan di sekeliling. Tempat pertemuan yang mewah, hingga bertemu dengan para penulis yang datang dari seluruh penjuru Nusantara. Terlebih, saya juga bisa bertemu dengan teman-teman lama.
Saya seperti anak gunung yang pertama kali datang ke kota. Terlalu asyik mengamati keadaan sekeliling, hingga lupa dengan tujuan bimtek itu sendiri.
Atas masukan dari juri dan mentor, saya memfokuskan pembahasan naskah pada peternakan magot. Alasannya, magot memiliki banyak manfaat. Namun magot masih kurang dikenal masyarakat luas. Lalu, apa itu magot sebenarnya?
Magot adalah larva yang berasal dari lalat Black Soldier (BSF). Dengan ukuran tubuhnya yang kecil dan masa panennya yang relatif singkat. Dengan ukuran tubuhnya yang sangat kecil, magot-magot itu sanggup menghabiskan sampah organik dengan cepat. Bahkan dari sekitar 15.000 ekor magot, mampu menghabiskan dua kilogram sampah organik dalam waktu sehari.
Di sisi lain, magot akan mengeluarkan panas untuk mengompos sampah organik dan mengurangi bau busuk. Sehingga penciuman kita tidak akan terganggu dengan bau sampah yang menyengat. Sementara sisa endapan magot, tidak mencemari lingkungan, justru akan menjadi pupuk yang bisa menyuburkan tanaman. Menakjubkan, bukan?
Akhir-akhir ini, mangot mulai banyak diminati karena mengandung protein, asam amino, asam lemak, mineral, dan nutrisi lain yang tinggi. Hal inilah yang menjadikan magot sebagai pakan alternatif pilihan bagi para peternak ikan dan unggas.
Dibalik keseruan dan gemerlapnya GLN, ada hal yang tidak boleh kita abaikan. Yakni memperbaiki naskah sesuai dengan saran dari mentor. Perbaikan para peserta pun beragam, ada yang perbaikan minor dan ada pula yang perbaikan mayor.
Naskah “Gang Seribu Punten” ini termasuk salah satu naskah yang mendapat revisi mayor dari mentor. Sebenarnya salah sendiri, karena saya kurang riset dan terlalu terburu-buru untuk mengeksekusi naskah. Hingga hasilnya, terkesan memaksakan.
Meski demikian, saya dan mas Anjar Ginanjar sebagai ilustrator tidak mau cepat menyerah. Kami berusaha keras untuk memperbaiki naskah dan ilustrasi sesuai dengan petunjuk dari mentor. Kami ingin membuktikan kalau kami sanggup dan layak ada di GLN.
Sementara untuk GLN tahun ini, naskah saya gagal bersaing dengan naskah lainnya. Tidak apa-apa, itu tandanya saya harus belajar lebih giat dan mencoba bersaing lagi dalam event GLN berikutnya di tahun depan. Begitulah pengalaman pertamaku saat mengikuti event GLN tahun 2024. Lalu, bagaimana dengan pengalaman GLN teman-teman?