Terjebak di Tongkonan
Oleh: [Nur Rahmah Sangkala]
5/5/2024
Bab 1: Negeri di Atas Awan
Brr… Brrr..
Ronald merapatkan jaketnya. Lolai, desa yang ditempatinya hari ini sangat dingin. Sekarang pukul 05.00 dini hari dan dia sudah harus bangun. Ingin rasanya ikut menyeruput kopi ayahnya. Tapi dia malas juga kena marah pagi-pagi. “Heh, anak - anak tidak minum kopi.” Begitu selalu herdikan ayahnya jika ia kedapatan melirik kopi. Padahal sebenarnya Ronald hanya penasaran. “Dengan aroma yang khas, wajar kan kita jadi ingin coba,” begitu pikir Ronald.
Aroma Kopi Toraja memang sangat menggoda. Tidak heran kopi ini menjadi incaran para turis lokal sampai mancanegara. Apalagi jika diseruput di pagi hari seperti ini. Ditengah suhu 130 ini, kopi Toraja dengan asap mengepul dalam hitungan menit bisa menjadi dingin. Sambil menunggui ayah mengambil antrian foto untuk anggota tur, Ronald memesan coklat panas dan pisang goreng sebagai sarapannya pagi ini.
Desa Lolai berada di ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut. Karena bentuk alam di Toraja di kelilingi pegunungan, desa Lolai ini lebih terkenal dengan sebutan Negeri di atas Awan. Lolai menjadi incaran turis yang senang mengabadikan panorama alam. Begitulah, di subuh hari dengan menahan gigil, para wisatawan sudah antri untuk foto bersama barisan awan.
“Ronald, fotoi dolo e!”
Panggilan Ayahnya menyadarkan Ronald dari lamunannya.
Ronald menyambut perintah ayahnya dengan senang hati. Ada yang minta di foto, begitulah kira-kira arti ucapan ayah. Ronald sampai sekarang masih tidak mengerti mengapa ayah masih juga bercakap dengannya memakai bahasa daerah. “Padahal kan aku dan ayah sama – sama fasih berbahasa Indonesia,” pikir Ronald. Anak-anak di Toraja juga sudah tidak banyak memakai bahasa daerah sehari-hari. Cuma generasi tua saja yang masih memakai bahasa Toraja saat bercakap. Tapi tiap kali bercakap dengan Ronald, ayah langsung sigap ganti bahasa Toraja. Seperti saklar lampu saja, gampang sekali ditukar.
Di ambilnya kameranya lalu bergegas ke titik foto tempat turis – turis yang dipandu ayahnya berkumpul. Dari bawah, lautan awan terpantul sinar jingga matahari sudah siap menjadi latar foto. Syukurlah hari ini cerah. Hamparan gulungan awan putih jadi terlihat sangat menawan.
“Ma’am, wischen sie nach rechts!” Ronald sedikit berteriak memberikan instruksi pada keluarga Jerman yang sedang berpose. Mereka berpindah ke kanan sesuai arah Ronald.
Cekrek, cekrek, cekrek.
Lincah tangan Ronald memainkan shutter kamera. Dari jauh ayahnya tersenyum melihat Ronald yang sedang beraksi. Jika sudah berurusan dengan kamera, Ronald betul-betul serius. Ronald yang mengerti sedikit photography menjadi kegemaran para turis – turis perempuan. Dia sering dimintai tolong menjadi tukang foto dan hasilnya selalu saja bagus.
Tukang foto? Duh, Ronald benci sekali dipanggil tukang foto. “Fotografer! Tukang foto, tukang foto. Memangnya saya tukang bakso? Tukang becak? Tukang bangunan?”
Tapi tukang foto lebih lengket di lidah orang Indonesia. Amboi, jika ada satu orang saja yang menyebutnya tukang foto dengan tidak sengaja, sudahlah. Dia tidak akan pernah melupakan orang itu. Ronald bersumpah akan membalas penghinaan itu bagaimanapun caranya.
Hingga akhirnya, hal yang paling tidak disukainya pun terjadi.
“Eh, kamu kan tukang fotonya? Boleh tolong difotoin di sebelah sana gak?”
Bak terkena sengatan listrik, Ronald tidak bisa menoleh. Lehernya tegang karena kesal yang tiba-tiba.
“Gak denger ya? Boleh tolong difotoin?”
Ronald berbalik dengan tatapan mata tajam. Di belakangnya seorang anak perempuan mengulurkan tangannya.
“Pakai ponsel saya aja yah, ribet kalau pakai kamera kamu.”
Oh, si tamu dari Jakarta toh. Gumam Ronald dalam hati. Ronald tahu anak ini. Di antara ribuan wisatawan yang pernah ia temui, baru satu ini dia menemukan anak yang paling nyentrik. Dia seperti boneka Barbie yang kemana – mana harus selalu pink. Bedanya, dia itu dari ujung rambut sampai ujung kaki semuanya ungu. Bandana ungu, jepit rambut ungu, tas ungu, ponsel ungu, sepatu ungu, baju celana jaket semuanya ungu. Duh mencolok sekali. Di tengah terik matahari dia kelihatan sangat menyilaukan dengan ungu yang menyala terang. Ronald tidak suka.
Sudah dua tahun ini Ronald ikut dengan ayahnya memandu para turis. Semenjak saat itu Ronald punya kebiasaan memperhatikan rombongan tim. Kali ini ayah membawa dua keluarga kecil dan tiga solo traveler lainnya. Solo traveler adalah turis yang berkelana sendirian tidak tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu. Keluarga pertama berasal dari Jerman, berjumlah lima orang dengan dua anak kecil berusia kira-kira satu tahun dan tiga tahun. Ronald suka sekali dekat-dekat dengan keluarga ini, selain karena dia bisa melatih bahasa Jerman yang diajarkan ibunya di rumah, anak bule Jerman ini juga sangat lucu! Duo anak jerman ini menjadi penghibur hati Ronald yang sudah lama ingin punya adik. Tapi sayang, sampai sekarang dia masih menjadi anak satu-satunya di rumah.
Keluarga lainnya datang dari Jakarta. Si serba ungu tadi itu namanya Lita. Dia datang bersama dua pamannya. Entahlah, mereka tidak mirip satu sama lain. Wajah mereka juga sama sekali tidak mirip dengan Lita. Dengan tubuh yang tinggi besar, kekar, dan kulit kecoklatan khas terbakar sinar matahari, mereka lebih cocok jika menjadi ajudan Lita rasanya. Ronald sendiri memanggil mereka dengan sebutan Om Kumis dan Om Janggut. Walau tentu saja dia tidak pernah terang-terangan memanggil seperti itu. Cukup om saja.
Lita, si tampang sinis itu memanggilnya dengan sebutan tukang foto! Dada Ronald jadi kembang kempis karena marah.
“Heh, kamu yakin dari Jakarta? Sebut fotografer saja tidak bisa.” Sahut Ronald mencoba melampiaskan kekesalannya.
Lita yang tidak menyangka akan dijudesi Ronald, balik nyolot.
“Apa sih? Gak penting amat. Fotografer kek tukang foto kek sama aja. Bisa fotoin gak?”
Wajah Ronald jadi merah padam. Kalau bukan karena memikirkan reputasi ayahnya sebagai tour guide andalan disini, ingin rasanya Ronald melanjutkan debat dengan Lita.
Dengan terpaksa Ronald mengambil ponsel Lita dan memotretnya beberapa kali. Setelah itu Ronald kembali mengambil kameranya dan lanjut memotret pemandangan di depannya. Terkadang ia juga memotret pelancong solo yang ada dalam grup ayahnya. Mas Gondrong, Pak Kriwil, dan Tante Poni Putih, begitu Ronald menyebutnya. Mas Gondrong selalu membawa ransel gunungnya kemana-mana. Sesuai namanya, rambutnya panjang berwarna hitam legam dan selalu dikuncir rapi. Mas Gondrong sangat tinggi dan kurus. Saking tingginya, dia sering membungkuk saat masuk ke tempat yang berlangit-langit rendah.
Tante Poni Putih punya mata sipit dengan kulit kuning langsat. Dia tidak pernah berhenti ngemil. Dia suka menawari Ronald cemilan. Tante Poni Putih juga supel dan suka bercerita apa saja. Ronald sering melihatnya ngobrol dengan Lita. Kayaknya karena sama-sama perempuan, obrolan mereka jadi lebih nyambung.
Pak Kriwil berambut ikal, tubuhnya gemuk dan sedikit pendek. Dia cepat sekali berkeringat. Dia tidak kuat jalan lama apalagi jika harus mendaki. Padahal tempat wisata disini banyaknya di daerah ketinggian. Sering kali ayah harus melambatkan ritme jalan demi untuk menunggui Pak Kriwil yang masih tertatih-tatih mengejar napasnya. Kasian juga sih ngeliatnya. Lagian aneh juga, biasanya turis solo itu staminanya kuat diajak jalan kemana pun. Tapi pak Kriwil ini seperti amatiran saja. Apa ini pengalaman pertama pak Kriwil melancong sendirian ya?
Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WITA. Ayah menginstruksikan tim untuk bersiap-siap. Sebentar lagi kita akan berpindah tempat ke Rante Kalimbuang, tempat prosesi Rambu Solo’, upacara kematian adat Tana Toraja dilaksanakan. Semua anggota tim menuruni lembah menuju parkiran tempat bus berada. Ronald melihat Lita di depannya dan berjalan cepat mendahuluinya. Ia berhenti tepat di depan Lita. Ia tinggikan ujung hidungnya dengan jari telunjuk sambil ia julurkan lidahnya.
“Wee… wee..”
Lita yang tidak terima, mengejar Ronald yang sudah berlari jauh di depannya. “Tunggu! Awas saja kau kalau tertangkap!”
Satu sosok dibelakang mereka tidak henti mengawasi mereka. Hmm Ronald dan Lita masih saja bertengkar. Mereka tak tahu akan kejadian buruk yang akan menanti mereka di lokasi berikutnya.
Bersambung ke Bab 2...