“Kenapa uangnya tidak bertambah?” tanya Sekar pada diri sendiri. “Bukankah kata ayah, nyawan ini ajaib? Bisa mengabulkan semua keinginan kita?”
Wajah Sekar seketika murung. Dia teringat jadwal masuk sekolah semakin dekat. Namun, dia belum juga membeli buku, pulpen, dan perlengkapan sekolah lainnya.
Sekar menggoyang nyawan di pangkuannya. Kotak segi empat dengan penutup yang terbuat dari anyaman batang bambu apus. Sepertinya memang tidak ajaib lagi. Lalu, bagaimana Sekar bisa memenuhi keinginannya?
Sekar tidak mungkin meminta pada ibunya. Upah ibu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ibu juga harus membayar utang biaya berobat bapaknya sebelum meninggal.
Sekar berpikir sejenak. Dia akan mencari kerja tambahan selain membantu Nek Rohibah berjualan kue keliling. Namun, apa yang bisa Sekar kerjakan?
"Hari ini kita libur dulu, ya! Nenek mau istirahat sejenak," kata Nek Rohibah. "Jadi kamu tidak perlu membantu Nenek."
Sekar bertambah sedih. Matanya berkaca-kaca. Berarti hari ini Sekar tidak bisa menambah jumlah uangnya lagi. Itu artinya, Sekar tidak bisa membeli peralatan sekolah dalam waktu dekat.
Sekar kembali ke rumah. Di dapur, Sekar melihat hasil karya almarhum ayahnya yang belum sempat terjual. Sekar jadi punya ide.
Bukhambak itu Sekar kumpulkan. Di situ ada kipas, nyawan, penganan, pebuyaan, pengemian, dan juga tapis. Semua terbuat dari anyaman bambu apus. Setelah terkumpul, benda-benda, Sekar simpan di atas kepala.
Sekar mulai menjajakan jualannya. Dia berkeliling kampung, menawarkan dagangannya kepada orang yang dia temui.
Namun, hingga siang hari, dagangan Sekar belum juga ada yang membeli. Sekar tidak berputus asa. Dia terus saja berjalan hingga ke kampung sebelah.
Bukhambak yang berdebu dan mulai usang bikin orang tidak tertarik untuk membeli.
Sekar memutuskan untuk kembali ke rumah. Hari sudah sore. Perut Sekar pun mulai berbunyi. Kriuk, kriuk, kriuk.
Tiba di rumah. Sekar melihat ibunya terbaring lemas. "Ibu kenapa?" tanya Sekar.
Ternyata ibu Sekar demam. Mungkin Ibu Sekar kelelahan bekerja setiap hari tanpa henti. Ibu Sekar butuh obat. Karena Ibu tidak punya tabungan, Sekar pun mengambil uangnya untuk membeli obat.
Uang Sekar dalam nyawan semakin berkurang. Namun, Sekar tidak sedih. Justru dia senang bisa membantu ibunya.
Keesokan paginya, Sekar kembali ke rumah Nek Rohibah. Karena masih libur, Sekar jadi punya banyak waktu untuk membantu Nek Rohibah.
"Hari ini ada pameran kebudayaan di gedung Graha Wangsa. Nenek berencana berjualan di sana. Kamu bisa bantu Nenek?" tanya Nek Rohibah.
Dengan senang hati, Sekar bersedia membantu Nek Rohibah. Seharian Sekar membantu Nenek. Mereka menjual kuliner khas Lampung. Ada kue sekubal, kue tradisional yang terbuat dari beras ketan dan santan. Kue ini memiliki rasa yang gurih dan tekstur kenyal.
Selain itu, mereka juga berjualan engkak. Kue lapis yang terbuat dari tepung ketan, telur, dan juga santan. Kue ini rasanya manis. Mereka berjualan di halaman depan gedung
Melihat orang ramai berjualan kerajinan tangan, Sekar jadi punya ide. Bagaimana kalau Sekar ikut memasarkan kerajinan tangan ayahnya? Tapi, bukankah kerajinan tangan itu sudah tampak pudar?
Tiba di rumah, Sekar kembali memeriksa kerajinan tangan hasil buatan ayahnya. Sekar berpikir sesaat. Sekar punya ide. Dia mengambil pewarna dan mencampurnya dengan air. Kemudian, Bukhambak itu dia masukkan ke dalam pewarna yang sudah dia larutkan.
Taraaa!
Bukhambak buatan ayah Sekar kembali terlihat baru, cantik, dan berwarna-warni. Sekar siap memasarkannya.
Sekar juga teringat sesuatu. Dulu, dia pernah belajar membuat gelang pada ayahnya. Gelang itu terbuat dari tanaman resam, sejenis tanaman paku-pakuan.
Wah, Sekar jadi punya ide untuk berjualan gelang dan cincin anyaman resam. Sekar kan begitu mahir membuatnya. Namun, kira-kira dari mana Sekar mendapatkan bahan baku untuk membuat gelang dan cincin, ya?
Ternyata, tanaman resam begitu mudah ditemukan. Dia tumbuh di tepi jalan dekat gunung, di dekat rumah Sekar. Sehingga Sekar bisa langsung menemukannya.
Namun, tumbuhan resam yang baru diambil tidak bisa langsung digunakan. Batang resam harus dibersihkan terlebih dahulu. Daun-daun yang menempel di batang harus dibuang.
Kemudian, resam dijemur di bawah sinar matahari supaya kering. Sebelum dianyam, resam perlu direndam terlebih dahulu supaya lentur. Sekar jadi bingung. Bagaimana bisa berjualan gelang dari batang resam jika pengolahannya begitu lama?
“Di dapur masih ada batang resam kepunyaan ayah yang belum sempat dianyam.” Ibu memberi solusi.
Sekar langsung semangat. Dia segera bangkit ke dapur, memeriksa resam kepunyaan ayah. Sayangnya, resam kepunyaan ayah sudah rapuh. Sekar tidak bisa berbuat apa-apa.
Keesokan paginya, Sekar kembali membantu Nek Rohibah. Hari ini Sekar terlihat kurang bersemangat. Apalagi bukhambak bawaannya tidak ada yang laku.
Untung jualan Nek Rohibah cepat habis. Nek Rohibah mengajak Sekar berkeliling melihat pameran kerajinan terbesar di provinsi Lampung ini.
Tiba di satu stan, Sekar berhenti. Dia melihat penjaga toko yang kewalahan melayani pembelinya. “Maaf, Kak. Apakah saya boleh membantu,” sapa Sekar.
Bukannya mendapatkan sambutan baik, Sekar malah disuruh pergi. Sekar dianggap pengacau di saat pembeli begitu ramai. Namun, Sekar tidak langsung pergi. Dia mengambil satu batang pohon rasam yang siap untuk dianyam.
Dengan cekatan, Sekar langsung membuat gelang resam di tangan pembeli. Pembeli lain jadi ikut terpana. Pemilik toko jadi bersimpati. Dia meminta Sekar membantu melayani pembeli.
Atraksi Sekar membuat pengunjung semakin ramai datang ke stan. Pemilik toko makin senang. Dia berjanji memberikan upah setimpal. Sekar pun semakin semangat bekerja.
Tiba di rumah, Sekar langsung menyimpan uangnya di dalam nyawan. Seminggu berlalu. Sekar kembali membuka nyawannya. Ternyata uang yang terkumpul sudah begitu banyak.
Keesokan harinya, Sekar pun bisa membeli peralatan sekolah. Tidak hanya itu, Sekar juga membeli sepatu dan tas.
Sekarang, Sekar jadi tahu maksud ayahnya. Nyawan itu akan mengabulkan keinginannya jika dia mau berusaha.